Mohon tunggu...
Syifanie Alexander
Syifanie Alexander Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UI 2011

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Iklan : Persuasif Namun Etis?

12 Juni 2014   04:17 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:08 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah renungan singkat mengenai urgensi etika sebagai konsekuensi logis ditengah maraknya ber”iklan

Produk-produk di pasaran terus bermunculan, kompetisi diantara merek di pasar merupakan persaingan yang tidak bisa di hindari. Iklan sebagai salah satu bagian dari kegiatan promosi menjadi kian marak dan memerlukan kreatifitas luar biasa untuk bisa merebut perhatian audiens ditengah semakin banyaknya iklan yang beredar (clutter). Pada dasarnya, tujuan iklan adalah membujuk. Seperti yang dikatakan Tilman dan Kirkpatrick (Sumartono, 2002: 13) bahwa iklan merupakan komunikasi massa yang menawarkan janji kepada konsumen tentang adanya barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan, tempat memperolehnya dan kualitas barang dan jasa tersebut melalui pesan yang informatif dan persuasif. Namun, dari sekian banyaknya iklan yang beredar tersebut seringkali melupakan kemungkinan lain dari kemunculan iklan tersebut.Betul, persuasif diperlukan melihat esensi dari periklanan itu sendiri. Akan tetapi, tidak jarang persaingan ini menjadi sebuah pelik diantara pemasar yang juga berdampak pada konsumen sebagai penentu pembelian.

Etika dan tata krama harus dipenuhi dalam segala aktivitas periklanan maupun kegiatan komunikasi pemasaran lainnya, hal ini penting untuk mendapatkan respon positif berupa penerimaan ataupun dukungan terhadap produk, merek dan perusahaan, khususnya dari konsumen. Toh, nantinya, usaha-usaha pemasaran yang tidak memenuhi etika dan tata krama itu akan mendapatkan kesan negatif dibenak kita sebagai audiens, dan tidak menutup kemungkinan juga adanya reaksi penolakan, sehingga kita sebagai konsumen memutuskan untuk tidak membeli produk tersebut.

Untungnya, di Indonesia sendiri sudah ada pedoman yang mengatur mengenai periklanan. Pedoman tersebut merupakan kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang disusun oleh Dewan Periklanan Indonesia, sebagai pihak yang berwenang. Sesuai dengan prinsip swakramawi dalam EPI, iklan yang bersaing (competitive advertising) harus tetap mendasarkan diri pada persaingan dengan cara yang sehat, cara yang sesuai dengan etika bisnis dan tatakrama periklanan yaitu harus: jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum negara, Sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat, dan mendorong persaingan dengan cara-cara yang adil dan sehat (dijiwai persaingan yang sehat). Prinsip swakramawi (self- regulation) dalam EPI ini merupakan prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan termasuk di Indonesia. Dalam EPI, terdapat pasal atau butir-butir yang mengatur secara detil, contohnya dalam penjelasan berikut ini.

Dari sisi bahasa (Butir 1.2.2), iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif (berlebihan) seperti "paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter-", dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.  Butir 1.4  juga menyebutkan tentang penggunaan Kata "Satu-satunya”. Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata "satu- satunya" atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Iklan yang baik tidak mengadakan perbadingan langsung dengan produk-produk saingannya. Apabila perbandingan semacam ini diperlukan, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas. Konsumen tidak disesatkan oleh perbandingan tersebut. Menurut Butir 1.19.1, Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. (Butir Dan pada butir1.19.2, perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak. Termasuk juga tentang perbandingan harga (Butir 1.20). Perbandingan harga hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diseretai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.

Dalam Butir 1.21 juga disebutkan,  Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung. Peniruan iklan juga dibahas dalam Butir 1.22. Disebutkan bahwa Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti.

Tidak hanya itu, dalam EPI juga mengatur berbagai variabel yang mungkin selama ini juga kita keluhkan. EPI mengatur tentang khalayak anak-anak, dimana kita tahu bahwa nnak-anak masih sangat rentan terhadap berbagai informasi yang menghadangnya. EPI juga mengatur hal-hal yang sensitif, seperti jender. Dan masih banyak lagi lainnya, untuk lengkapnya anda bisa mengunduhnya dalam link berikut ini http://satucitra.co.id/unduh/Etika-Pariwara-Indonesia.pdf

Lalu, bagaimana jika ada yang melanggar?  Sanksi pelanggaran juga sudah diatur dalam kitab Etika Pariwara Indonesia bagian IV.E, disebutkan bahwa: Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut: (1) Peringatan, hingga dua kali; (2) Penghentian penyiaran atau dikeluar- kannya rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan.

Etika Pariwara Indonesia ini harus menjadi pedoman utama bagi para pelaku dalam industri periklanan. Kita sebagai konsumen juga berperan dalam memberi masukan dan kritikan terhadap proses penegakan Etika Pariwara Indonesia, sehingga terwujudnya iklan yang persuasif namun etis. Oleh karena itu, sebagai konsumen yang cerdas, kita juga bisa melaporkan jika terjadi pelanggaran dalam iklan.  Melalui Dewan Periklanan Indonesia, di Gedung Dewan Pers, Lantai 3, Jl. Kebon Sirih No. 32-34, Gambir, Jakarta Pusat, Indonesia 10160 P: +62 21 3504607, +62 21 70745580. E: secretary@pppi.or.id. Atau, bisa juga melalui Pojok Pengaduan di Komisi Penyiaran Indonesia : http://www.kpi.go.id/?etats=formpengaduan

Referensi:

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan. Meneropong Imbas pesan Iklan Televisi. Bandung: Alfabeta.

Etika Pariwara Indonesia. Jakarta : Dewan Periklanan Indonesia. 2007.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun