Mohon tunggu...
Syifa Ann
Syifa Ann Mohon Tunggu... Penulis - Write read sleep

Alumni Sosiologi, Penyuka Puisi | Pecinta Buku Nonfiksi & Kisah Inspirasi. | Pengagum B.J Habibie. | Pengguna K'- Mobilian. | Addicted With Joe Sacco's Books. | Risk Taker. ¦ A Warrior Princess on Your Ground. | Feel The Fear, and Do It Anyway :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lembar Tunggu Lusuh Bernomer Tiga Puluh

16 November 2015   08:13 Diperbarui: 16 November 2015   12:41 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

:Aku benci setiap hal yang bernama menunggu. Tapi jika itu harus berlaku padaku ya sudah kuterima seperti biasa. Seperti duapuluhsembilan hari sebelumnya. Seperti enampuluh hari tanpa kejelasan yang pernah kudapat ditempat berbeda; ini baru separuhnya: Tak apa meski tunggu kini mencumbu tigapuluh hari; satu bulan mati. Tak apa memang, tapi sungguh aku berharap waktu tidak setega itu mengulangi cerita hingga angka enampuluh. Tapi sungguh jika enampuluh itu sampai-pun kamu dan segala yang telah dimulai disini tidak akan kutinggalkan sebab terlalu sayang untuk memulai baru dari ulang. Maka aku menunggu.

Kamu tahu; Aku penunggu hebat. Aku bahkan mampu menunggumu terus bahkan saat kamu lupa kalau Di beranda, ada seorang gadis sedang mengulang getir; takdir sedang menampar-nampar wajahnya. Segelintir nyeri mulai kembali. Ya aku ini masih ada, ada. Mencoba menyelesaikan apa yang telah dimulai. Bertanggung jawab pada pilihan dan apa yang tersisa, yang menanti untuk diselesaikan. Maka akan kulakukan.- selesaikan pada waktunya kelak. 

Manis,

Kamu membuat aku mengingat pada ini; Tempat segala kata yang tidak harusnya terbaca kutuang, mungkin tidak sepenuhnya tak ingin kaubaca, aku hanya ingin menemukan tempat persembunyianku, dan membongkar beberapa luka dan cerita.

Sejujurnya manis, 

Aku ingin lari sejauh yang kubisa dari tubuhku, tapi aku tidak bisa, maka kuhadapi saja. Barangkali itu satu satunya pilihan untukku yang tersisa.

Kesalahan ini bernamaku. Bisakah aku menciptakan benar tanpa mencari pembenaran? Bisa? Tidak tahu.

Aku ingin menangis sejadinya, menghempaskan kepalaku pada tembok dingin sampai pecah. Aku ingin mati, lemahku, Tapi aku bertahan, kuatku; Aku lelah, tapi aku tidak mau kalah. Aku mau engsel pintunya saja yang patah biar bisa dibuka. Sebab aku tak tahu lagi harus mengetuk seperti apa sementara kuncinya entah kamu simpan dimana. Seperti terkunci, terhukum bagaikan narapidana yang divonis dengan satu dakwaaan: Merepotkan!  Sehingga layak mendapat hukuman pelemparan. Dilempar entah kemana, pada siapa, berapa lama dan sampai kapan. 

Dilempar, mengapung, menggantung, mutung, serasa tersendat, tercekat, seperti mau kiamat.  Dirundung tunggu dalam peroses yang tak menentu. Sungguh kuharap kamu atau waktu atau siapapun segera buka pintu, sebab aku mulai merasa terasing pada setiap jengkal tubuhku bahkan juga rumahku sendiri- rumah kita. Ayolah, cukup sudah hukumannya, lain kali akan kucoba lebih menghargai waktu.

 Pagi November yang berembun tiba,

Hujan menyiramiku, petir memekak telingaku Lalu Tuhan menyelipkan matahari dan mataku menangkap pelangi- Pelangi kesadaran pagi dan segala rangkai kata yang mengiring isyaratnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun