[caption id="attachment_421381" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Shutterstock Kompas.com"][/caption]
Membaca Tulisan Kang Pepih Nugraha
Bukan saya bermaksud mau membantahnya, sah-sah saja jika setiap orang punya sudut pandang berbeda, tapi saya ingin berbagi perspektif tentang satu kata: Keterbatasan.
Saya jadi ingin membahas, sekedar berbagi sebenarnya apa sih keterbatasan itu?
Menurut saya pribadi keterbatasan itu identik dengan rasa takut.
Rasa takut yang menghentikan kita dari sebuah upaya. Rasa takut untuk melakukan hal-hal negatif itu baik, misalnya takut melanggar hukum karena nanti masuk penjara, takut mencuri karena takut dosa itu bagus. Tapi  sepertinya para koruptor tidak punya rasa takut ini ya..? :)  Namun rasa takut kepada hal-hal yang memang sewajarnya dilakukan  manusia itu bahaya.
Misalnya takut melamar pekerjaan karena takut gagal pada tahap wawancara, takut melanjutkan pendidikan karena suatu penyakit tertentu, jika rasa takut seperti ini terus-terusan dipelihara seseorang TIDAK akan pernah jadi Apa-Apa karena rasa takutnya sendiri yang akhirnya membuat orang jadi bodoh. Mau melamar kerja kok takut gagal, Padahal kalau gak diterima-pun tempat  kerja atau kantor lain pun masih banyak yang bisa dicoba, mau Kuliah kok takut sama sakit? Maih untung dikasih HIDUP dan bisa KULIAH. Sesederhana itu saja pikiran saya.
Kuliah dan memiliki suatu penyakit yang dikaruniakan sang Maha Cinta untuk saya, bagi saya bukan sesuatu yang istimewa, Karena itulah yang sewajarnya dan seharusnya saya lakukan. Mumpung masih dikasih kesempatan hidup dan mengecap bangku kuliah. Karena  yang saya syukuri sekarang saya hidup lumayan cukup- Tapi saya ingin ketika saya dewasa nanti, hidup saya bisa berlebih sedikit. Supaya bisa berbagi seperak dua perak untuk orang lain. Jangan kerjanya minta mulu sampai tua. Syukur-Syukur bikin orangtua bangga (SEMOGA). Nah caranya gimana? ya Saya harus usaha lebih dengan semua kesempatan yang Alhamdulillah masih dikasih ke saya. Salah satunya ya KULIAH TITIK.
Jadi saya memang harus kuliah selama masih bisa  dan itu saya lakukan sewajarnya. Gak mungkin saya masih kuliah sampai jadi mahasiswi tingkat akhir begini  kalau saya mau menuruti rasa takut dan penyakit karena sifat dasar keduanya itu sama: Manja. yang kalau dituruti terus bisa bahaya. Bikin orang  gak bisa apa-apa.
Soal Skripsi...
Memang sampai sekarang tugas akhir mahasiswa tingkat akhir itu (masih) berupaSkripsi. Jadi saya lakukan sewajarnya mahasiswa bikin skripsi. Minta Izin penelitian- Minta Waktu Informan untuk wawancara dll. Syukur dikasih Izin sama Kompasiana dan Kompasianer. kalau gak dari mana saya bisa dapat data? jadi yang istimewa itu adalah KOMPASIANA dan kalian semua: Kompasianer. BUKAN Saya, Saya hanya melakukan sewajarnya yang saya bisa.
Soal semangat memang harus semangat, kalau gak sampai kapan-pun akan berjalan lambat seperti siput yang membawa beban rumahnya yang berat: Saya tidak mau jadi seperti itu.
Informan (Apalagi yang kunci) gak akan datang sendiri kalau tidak dicari sama peneliti jadi ya saya cari: tempat yang banyak informannya  saya datangi salah satunya seminar dan semacamnya.
Informan (Apalagi yang Kunci) jarang ada yang mau di wawancara kalau tidak si peneliti yang minta. Karenanya saya minta waktunya, tentu dengan baik-baik caranya. Kalian tidak ada yang mau kan kalau ada orang  yang minta wawancara tapi mintanya sambil teriak-teriak pake toa Musholla?
Jadi yang saya lakukan  sederhana dan sewajarnya saja. Tidak ada yang istimewa.
Kompasianer,
Keterbatasan memang menuntut orang untuk membatasi diri: Tapi semua manusia punya dua pilihan: Mau meratapi nasib selalu, hingga akhirnya jadi benalu, atau mau belajar mencari hal- hal baru?
Tuhan punya cara tersendiri untuk mengistimewakan mahluknya: Saya, Anda, Kita Semua.
Dan...
Dia Sebaik-baiknya Perencana.
Salam Positif!
Kompasiana:
Etalase Warga Biasa Nan Istimewa
Bahan Bacaan: Artikel
Terima Kasih Kang Pepih Untuk Tulisannya :)