Masalah Laut China Selatan ini berawal saat China mengumumkan wilayah kedaulatannya dan memutuskan secara sepihak bahwa pulau Spratly, Paracel, dan Pratas adalah miliknya di tahun 1972. Padahal, berdasarkan peta buatan China, letak geografis Laut China Selatan tumpang tindih di perbatasan satu sama lain.Â
Laut China Selatan adalah wilayah yang diperebutkan oleh beberapa negara karena nilai ekonomi maupun letakmya yang strategis yang menghubungkan Samudera Hindia dan juga Samudera Pasifik. Hal ini menyebabkan jalur Laut China Selatan menjadi jalur tersibuk di dunia karena Laut China Selatan merupakan jalur penyebrangan untuk kegiatan pelayaran internasional.
Menurut data dari United States Energy Information Administration (EIA), di Laut China Selatan terkandung banyak sekali sumber daya alam yang sangat besar, yaitu terdapat kandungan minyak dan gas, dan juga mempunyai keanekaragaman hayati dan perikanan.Â
Potensi sumber daya alam yang sangat besar juga salah satu alasan beberapa negara penuntut berusaha untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya masing-masing dengan melakukan berbagai usaha dan beberapa tindakan agresif untuk melegitimasi setiap wilayah Laut Cina Selatan yang diklaim sebagai miliknya.
Indonesia sendiri juga telah banyak berkontribusi langsung dalam sengketa Laut Cina Selatan. Namun, Indonesia bukan negara yang mengklaim Laut China Selatan.Â
Indonesia juga terlibat dalam sengketa LCS sejak tahun 2010, setelah China mengklaim ZEE Indonesia di wilayah Pulau Natuna Utara. China berpendapat mereka memiliki otorisasi Pulau Natuna dalam penerapan zona penangkapan ikan tradisional. Akibatnya, hubungan antara China dan Indonesia menjadi bermasalah.
 Akhirnya ketegangan tersebut mencapai puncaknya di tahun 2016 ketika armada penangkapan ikan China beberapa kali terjebak illegal fishing di Laut Natuna akibat penggunaan kebijakan Nine-Dash Line. Selain itu, pada tahun 2019 dan 2020, penjaga pantai China juga melakukan aktivitas ilegal serupa di Laut Teritorial Indonesia. Tindakan China seperti ini membuat  Indonesia lebih mengamankan kedaulatannya di Pulau Natuna.
Adapun resolusi Presiden Jokowi untuk mengamankan kedaulatan Pulau Natuna dalam menyikapi isu Laut China Selatan mengubah Indonesia dari negara netral menjadi negara pelindung.
Dalam tindakan China tersebut yang sudah mengklaim Pulau Natuna, Presiden Jokowi tidak hanya diam, beliau mengambil langkah yang cukup tegas salah satunya yaitu lebih mementingkan keamanan dan kepentingan nasional. Namun selain itu, Jokowi juga menggunakan hard power dengan mengerahkan kekuatan militer langsung ke Pulau Natuna. Presiden Jokowi benar-benar memberikan sinyal bahwa tidak ada toleran kepada kapal-kapal illegal yang masuk secara bebas ke pulau Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi juga menginstruksikan pembangunan infrastruktur militer di kawasan Kepulauan Natuna untuk memperkuat posisi kedaulatannya disana. Dengan mengambil langkah tegas ini, Indonesia sangat menentang segala bentuk klaim China di Natuna, karena pasti akan terganggu Kepulauan Natuna sendiri dengan Sengketa Laut China Selatan, yang hal ini akan berdampak kepada stabilitas keamanan dan ekonomi nasional.
Langkah tegas yang lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menenggelamkan kapal laut asing ketika diketahui secara sengaja maupun tidak memasuki daerah teritorial Republik Indonesia.