Mohon tunggu...
Humaniora

Zuhud Perspektif Syekh Mutawalli Sya'rawi

17 Februari 2018   09:01 Diperbarui: 17 Februari 2018   09:53 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://mistikus-sufi.blogspot.co.id

ByHusein Ja'far Al Hadar


Syekh Mutawalli Sya'rawi merupakan salah satu ulama dengan kecakapan dalam berceramah dan menulis. Ia memiliki kemampuan menjelaskan dan mengumpamakan sesuatu yang rumit sehingga menjadi begitu mudah, bahkan untuk telinga seorang awam. Untuk konteks Indonesia, Prof. M. Quraish Shihab mungkin yang paling dekat dengan karakter seperti itu, sehingga ceramah dan buku-bukunya bisa menjadi konsumsi ibu-ibu. Dan kebetulan keduanya memang sama-sama "produk" Universitas Al-Azhar.

Salah satu tema tasawuf yang menjadi mudah di lidah dan pena Sya'rawi adalah mengenai "zuhud". Dalam kitab Qishash al-Shahabah wa al-Shalihin, ia menceritakan obrolan orang-orang zuhud dari daerah yang berbeda. Diceritakan bahwa salah satu guru sufi bertanya pada sahabatnya tentang bagaimana keadaan orang-orang zuhud di negerinya? Dia menjawab: "Ketika kebaikan mengenai kami, kami bersyukur. Ketika keburukan menimpa kami, kami bersabar." Sebuah jawaban yang bagus. Namun, guru sufi itu menertawakannya (tentu bukan maksud meremehkan, melainkan sebagai metode dia berbagi ilmu), sembari berkata: "Apa itu?! Itu perilaku anjing-anjing di Balkh. Zuhud bagi kami adalah ketika kebaikan mengenai kami, kami memuliakannya (dengan meninggalkan jejaknya). Ketika keburukan menimpa kami, kami bersyukur."

Guru sufi itu menjelaskan tentang satu tingkat definisi zuhud yang lebih tinggi dari apa yang dijelaskan sahabatnya. Karena bagi sufi, keburukan adalah kebaikan dalam wajah yang berbeda, misalnya ia adalah bentuk kasih sayang Allah pada kita sehingga Ia masih memperhatikan kita dengan memberi keburukan untuk mengingatkan kita atau menguji kita untuk mengangkat derajat kita. Adapun kebaikan, ia perlu diperhatikan agar kita tak terjebak dalam kesombongan atau riya' akannya, sehingga buru-buru kita menghapus jejaknya agar ia benar-benar tetap hanya untuk keridhoan-Nya.

Dalam salah satu ceramahnya, Sya'rawi membawakan riwayat dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib tentang bagaimana membedakan pecinta dunia dan pecinta akhirat. Jika ada seseorang datang pada kita untuk memberi hadiah dan seorang lagi datang untuk meminta sesuatu dari kita. Maka, lihatlah pada diri kita. Yakni jika kita lebih gembira pada orang yang memberi ketimbang orang yang meminta, maka kita adalah pecinta dunia. Adapun jika kita lebih gembira pada orang yang meminta ketimbang orang yang memberi, maka kita adalah pecinta akhirat.

Zuhud tentu bukanlah berarti anti pada dunia. Untuk apa kita diciptakan di dunia jika diharamkan atasnya?! Lagipula kenapa ada perintah zakat jika kita diminta anti dunia?! Zuhud berarti melihat dunia sebagai ladang untuk akhirat. Sehingga semua aktifitas duniawi kita diproyeksikan untuk akhirat.

Lalu bolehkah menikmatinya? Tentu tak apa. Fokusnya adalah tetap bahwa ia ladang untuk akhirat, sehingga akan mudah dipahami bahwa menikmatinya 'pun tak masalah dengan syarat jangan sampai ia membuat kita lupa akan akhirat dan tetap fokus pada eksistensinya sebagai ladang bagi akhirat.

Oleh karena itu, dalam ceramahnya yang lain, Sya'rowi memberikan perhatian sekaligus tips agar kita cerdik melihat dunia. Misalnya, ketika seruan pada Allah, yakni azan dikumandangkan, jangan sampai kita menunda salat karena urusan dunia. Karena sebenarnya "pertemuan" dengan Allah adalah jaminan bagi kuantitas dan kualitas dunia kita. Dalam artian, pencipta, pemilik, dan penguasa dunia ini adalah Allah. Sehingga, jika kita mengedepankan urusan kita dengan Allah ketimbang urusan dunia kita, tentu Allah akan menjamin dan memudahkan urusan dunia kita. Inilah yang dimaksud secara kuantitas. Adapun secara kualitas, dengan kita mengedepankan urusan dengan Allah, maka dunia yang kita dapatkan nantinya tentu akan penuh keberkahan karena itu pemberian Allah dengan penuh keridhaan-Nya. Inilah yang dimaksud kualitas. Dan dengan kualitas itu, maka itulah zuhud, yakni menjadikan dunia sebagai ladang bagi akhirat.

Oleh karena itu, seperti juga dikemukakan Sya'rowi dalam salah satu ceramahnya dengan mengutip hadis qudsi, "Wahai manusia, jangan takut dari sempitnya harta. Sedangkan harta-Ku tak terbilang. Aku ciptakan kamu untuk ibadah. Aku telah tetapkan rezeki-Ku untukmu, maka jangan pernah lelah atau putus asa. Jika kamu ridha akan ketentuan-Ku atasmu, akan kubahagiakan jiwa dan ragamu. Tapi jika kau tak ridha, kan Aku jadikan kesusahan dunia atasmu sehingga kau berlari mengejarnya seperti hantu berlarian di hitan pada malam hari, dank au takkan dapatkan apa-apa kecuali apa yang telah Aku tentukan. Janganlah tanya rezeki-Ku utnukmu besok, sebagaimana Aku tak bertanya mengenai amalmu besok." Kata Sya'rowi, tak perlu khawatir jika kau tak tahu alamat rezekimu, karena rezekimu tahu alamatmu.

Zuhud akhirnya adalah menjadikan dunia sebagai "sajadah panjang" seperti kata lirik Bimbo. Semua aktifitas dunia kita diniatkan ibadah, meski itu bekerja atau sekadar tidur.

Sumber: syiarnusantara.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun