Aku tidak berbeda secara lahir, sama dengan bapak itu.
Kampak dan jaring, peluh yang tak kunjung kering.
Legam di pekat malam yang kelam.
Mengharap untuk seonggok kakap.
Lewat harap ia hidup, bapak itu.
Bapak-bapak itu.
Teluk ini bukan kaya, namun cukup menambah biaya.
Segenggam beras untuk mereka bahagia bersama.
Tertawa dan bersendawa dengan terpaksa.
Seolah nyawa di badan sudah cukup untuk sementara.
Aku salut dengannya, ia yang tak kenal kursi avanza.Â
Bukan jalur itu baginya mencari harta
Tangan nya tak nyaman memegang pena, "sudah biasa bla bla"
Kaki selaput tak kasat mata andalannya.
Bukan ia yang merasa waspada.
Melainkan anak-anak yang tahu ayahnya satu sarang dengan buaya.
Silap saja, si anak tak lagi bisa bermanja-manja.
"Cukup itu sudah" katanya.
Kulihat satu piring lauk, dengan bakul untuk kami bersama.
Masih lah ia melempar basa.
Si bapak yang tak putus asa.
Jauh dari dunia maya, orang hidup lepas tanpa pikir citra.
Untuk tertawa saja mereka terpaksa.
Apalagi, masihkan harus berpura-pura?
Teluk ini penuh derita..
Sungguh luar biasa, derita..
Namun harus kau tetap ber asa..
-----------------------
Postingan ini sebagai remainder bagi saya untuk selalu bersyukur atas nasib baik terlahir di keluarga yang serba ada.