Mohon tunggu...
Syarwini Syair
Syarwini Syair Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Lingkungan Hidup

Seorang petani Madura yang selalu belajar membajak dan mencangkul tanah kebudayaan untuk menanam kembang kearifan. Hidup dengan prinsip: tombu atina kembang, ngalotor atina ro'om!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mamaca: Tradisi Sastra Lisan yang Sarat Nilai

3 November 2016   13:03 Diperbarui: 24 November 2016   06:02 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu wujud kebudayaan adalah idea atau buah pikiran yang tertuang dalam berbagai karya seni, nilai-nilai, norma mapun adat kebiasaan lain yang tidak tertulis dan abstrak. Karya seni sebagai bagian dari struktur kebudayaan, akan memberikan dampak tersendiri terhadap pola kehidupan masyarakat, yang lambat laun membentuk fakta sosial sebagai landasan berinteraksi dalam satuan ekosistem masing-masing. 

Setiap masyarakat, yang dibatasi oleh ruang dan waktu, selalu punya perhatian yang berbeda terhadap hal-hal yang dianggap berharga dan menjadi pembentuk stratifikasi sosial, baik vertikal mapun horizontal, dengan falsafah piramida terbalik. Masyarakat yang punya perhargaan terhadap seni, akan menempatkan para pujangga dan seniman pada strata tertinggi dalam rangkaian kelas-kelas sosial, sedangkan masyarakat yang lebih menghargai materi dan harta benda, akan meletakkan orang-orang kaya dan golongan kapitalis pada struktur teratas.

Masyarakat Madura, sesuai sunnatullah, tergolong masyarakat “campur sari” (heterogen) dalam menentukan sesuatu yang paling berharga sebagai syarat terbentuknya struktur sosial. Di antara sekian banyak hal, karya seni menjadi fokus perhatian masyarakat Madura yang sangat digandrungi, terutama pada masa kraton Sumenep sampai awal-awal masa kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga (sempat) menjadikan Madura sebagai pusat kajian sastra Arab dan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya berbagai tradisi Madura yang menggunakan media bahasa Arab dan Jawa, di samping bahasa sendiri yang terus mengalami dinamika paradoksal: kemajuan dan kemunduran sekaligus.

Melacak Akar Tradisi

Salah satu aktivitas kesenian masyarakat Madura adalah mamaca, sebuah hasil karya seni tradisional yang sarat nilai dan telah mewarnai kehidupan orang-orang Madura secara turun-temurun. Mamaca, atau dalam istilah lain dikenal dengan sebutan macopat (bahasa Jawa), merupakan sebuah tradisi sastra lisan yang berupa tembang-tembang kuno, yang diciptakan oleh para pujangga Islam (ulama). Sesuai dengan namanya, mamaca berarti membaca, berasal dari bahasa Madura maca, yang berarti baca.

Tradisi mamacaorang Madura memiliki garis genealogis dengan tradisi mocopatorang Jawa, yang sama-sama berupa tembang berbahasa Jawa, meskipun dengan nuansa yang berbeda, sesuai pengaruh kultur daerah masing-masing. Meskipun berbentuk tembang berbahasa Jawa tingkat tinggi (kromo inggil), tradisi mamaca tetap tumbuh subur dalam masyarakat Madura yang berbasis pesantren dan pedesaan, karena disamping masyarakat Madura memiliki jiwa estetika yang tinggi, nilai-nilai yang tersirat dalam aneka tembang mamaca, sejalan dengan nilai-nilai yang menjadi basis kultur setempat. Baik di pesantren, di pedesaan dan di tembang-tembang mamaca, yang berperan sebagai juru dakwah dan kreator kesenian adalah orang-orang yang sama: para wali dan kiai.

Perlu diketahui bahwa dalam tradisi mamacamemerlukan dua orang yang sangat berperan penting: juru tembang dan juru makna. Juru tembang adalah orang yang bertugas sebagai pelantun tembang-tembang mamaca dari berbagai jenis tembang sesuai dengan laras masing-masing. Juru tembang harus menguasi semua jenis tembang yang lazim digunakan dalam tradisi mamaca, mulai dari tembang mijil, artate, senom, maskumambang, lambang sari, salangit dan durma.

Juru makna, dalam bahasa Madura dikenal dengan sebutan tokang tegghes, adalah orang yang bertugas sebagai penjelas makna dan maksud dari lirik-lirik tembang yang dilantunkan juru tembang, dengan menggunakan bahasa Madura, agar dapat dipahami oleh masyarakat awam. Juru makna, tidak hanya dituntut menguasai tembang, tetapi juga harus menguasai bahasa Jawa kromo inggil dan berbagai hal yang berkaitan dengan isi lirik setiap tembang. Biasanya, tembang-tembang mamacaberisi sejarah hidup Nabi Muhammad (atau biasa disebut hadits layang), ajaran-ajaran moral, falasafah hidup dan suluk (jalan menuju Allah).

Kearifan yang Dilupakan

Lapa Taman adalah nama sebuah desa pesisir utara yang terdapat di Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep. Tulisan ini, menjadikan Lapa Taman sebagai sampel kajian, yang memiliki tradisi unik terkait dengan kesenian mamaca, yang tidak menutup kemungkinan di tempat lain, terdapat nilai kearifan dan keunikan yang sama, atau yang lebih unik lagi. Barang kali, dalam pengambilan sampel ini, terdapat sebuah benang merah yang bisa ditarik ke berbagai lokasi di Madura.

Dituturkan oleh Ki Habarudin, salah satu sesepuh Desa Lapa Taman, bahwa “sekitar tahun 50-an sampai 80-an, tradisi macapat tumbuh subur dan menjadi icon kebudayaan masyarakat Lapa Taman yang berhasil menjadi acuan dalam berpikir, berkata dan bertindak, sampai menjadi syarat diterimanya sebuah lamaran”. Bagi orang tua yang hendak melamarkan seorang gadis untuk dipersunting puteranya, tidak akan diterima kalau sang putera belum bisa nembang mamaca, dan ini akan menjadi aib keluarga. Sebailknya, seorang pemuda yang pintar dalam melantukan tembang-tembang mamaca, akan menjadi rebutan para gadis atau orang tua yang hendak menjadikannya menantu.  

Kearifan ini berlangsung cukup lama, sejak masa awal kemerdekaan dengan munculnya sosok leluhur masyarakat Lapa Taman, sebagai tokoh fenomenal juru tembang dan tegghes sekaligus, yaitu Kiai Sekar, yang terus dilanjutkan oleh keturunannya, Kiai Sahir, sampai sekarang bersama segelintir masyarakat melalui langgar yang mereka dirikan atau kompolan yang mereka adakan. Namun, diakui oleh Ki Habarudin, yang menyebutkan diri sebagai keturunan dari Kiai Sekar, dengan mengatakan bahwa “sejak tahun 80-an, kearifan lokal tersebut sudah mulai luntur, terutama sejak berdirinya sekolah-sekolah formal dan masuknya televesi ke rumah-rumah,” tuturnya dengan nada penyesalan. 

Melihat realitas secara objektif, antara cerita Ki Habarudin tentang Lapa Taman masa lampau dengan Lapa Taman masa kini, terdapat situasi sosial yang sungguh berbeda. Apresiasi terhadap karya seni macapat warisan para leluhur tidak lagi menjadi bagian tradisi yang mengikat, yang menempatkan orang-orang yang tidak tahu tembang macopat sebagai orang yang tako’ ka tera’na damar. Bahkan di desa yang lain, seperti diceritakan oleh Ki Kusumo, tokoh masyarakat desa Candi, bahwa “kompolan macopat yang saya adakan bersama para sesepuh dari desa Candi, Jenangger, Totosan dan Nyabakan Barat, hanya diikuti oleh golongan tua yang berjumlah belasan orang.” Kenyataan ini menunjukkan betapa daya minat generasi muda terhadap kenesian mamaca sudah mulai rendah dan perlu (di)rekonstruksi ulang, entah terhadap pola pikir generasi sekarang, atau karya seni itu sendiri.

Sudah tidak dapat dihindari, tradisi macama mulai terpingginggirkan dengan masuknya nilai-nilai baru yang diekspor oleh pihak asing, bukan hanya pada lingkup kecil masyarakat Lapa Taman, tetapi juga ruang yang lebih luas: Sumenep dan Madura. Karya adiluhung tembang-tembang mamaca dengan kompleksitas nilai-nilainya, belakangan ini kalah bersaing dengan karya seni-seni pop yang tidak jelas nilai estetikanya. Lagu-lagu “instan” hasil berbagai genre musik, entah dangdut, koplo, pop, rock, dan jazz telah berhasil merebut ruang perhatian generasi muda Madura dan sedikit demi sedikit mulai berpaling dari akar kebudayaan sendiri. Bahkan, musik gambus dan qosidah yang diklaim “musik islami(?)” oleh sebagian kalangan dan sama sekali tidak punya pijakan kultur yang jelas di Madura, menjadi semakin laris manis dan telah mengganti selera seni sebagain masyarakat Madura.

Diperlukan usaha serius dan tidak tanggung-tanggung: orang-orang pesantren (kiai dan santri) harus turun seperti dahulu kala untuk membangun kebudayaan masyarakat akar rumput, dengan mendaur ulang tradisi lokal dan menggelar pentas kesenian yang sarat dengan nilai keluhuran dan kearifan. Sudah terlalu banyak orang yang terjebak dalam gemerlap industri semacam dangdut academy, terong show dan acara serupa yang mempertontonkan budaya glamor. Masyarakat perlu keseimbangan, dan untuk melakukan itu semua, tidak cukup hanya dengan mengandalkan ceramah agama dan bahtsul masail.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun