Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Cancel Culture Mengintai Indonesia? Mitos atau Fakta?

13 Februari 2025   11:00 Diperbarui: 13 Februari 2025   11:00 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena Cancel Culture di Indonesia (dok. Real Mom Life)

Cancel Culture di Indonesia: Ancaman atau Tanda Perubahan?

Fenomena cancel culture belakangan ini sempat ramai jadi perbincangan publik di Indonesia. Istilah ini menjadi populer di kalangan netizen, terutama sebagai respons terhadap kasus ejekan yang melibatkan Gus Miftah. Kasus ini menunjukkan bagaimana masyarakat mulai lebih kritis terhadap perilaku tokoh publik.

Cancel culture dapat didefinisikan sebagai bentuk tanggapan publik terhadap sebuah kasus atau skandal tertentu. Dalam hal ini, Gus Miftah dianggap berperilaku tidak etis saat berinteraksi dengan penjual es teh bernama Sunhaji. Ucapannya yang viral, "Yo kono didol, gobl*k!" menjadi titik balik dari perhatian publik yang merasa kecewa.

Pada 4 Desember 2024, muncul sebuah petisi berjudul 'Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden'. Petisi ini menggambarkan penghakiman publik terhadap sosok yang menjadi pembantu Presiden RI, Prabowo Subianto. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat dapat bersatu dalam menuntut pertanggungjawaban dari seorang tokoh.

Gejolak kasus ini mulai mereda ketika Gus Miftah mengungkapkan permohonan pengunduran dirinya pada 6 Desember 2024. Tindakan ini mencerminkan sifat dinamis dari cancel culture, di mana dampak dari kritik publik dapat memengaruhi keputusan seorang figur publik.

Untuk memahami lebih jauh tentang cancel culture, kita perlu merujuk pada definisi yang ada. Menurut Britannica, cancel culture adalah upaya boikot secara massal terhadap tindakan seseorang yang dianggap menyinggung atau tidak etis. Dalam konteks ini, masyarakat berusaha menghentikan dukungan terhadap tokoh publik yang melakukan kesalahan.

Budaya pembatalan ini tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat, tetapi juga memengaruhi bagaimana tokoh publik berperilaku di masa depan. Mereka mungkin akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat atau melakukan tindakan untuk menghindari konsekuensi negatif.

Cancel culture sering kali digunakan untuk mengungkap tindakan rasisme dan seksisme. Ini menjadi alat bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas pernyataan atau perilaku yang dianggap tidak pantas. Dalam hal ini, cancel culture berfungsi sebagai bentuk sanksi sosial.

Dari data yang dikutip dari Pew Research Center, sebanyak 22 persen warga Amerika Serikat menganggap cancel culture sebagai bentuk budaya pembatalan karier. Fenomena ini mulai berkembang sejak tahun 2020, menunjukkan bahwa perhatian terhadap isu ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Tercatat bahwa 49 persen warga AS melihat cancel culture sebagai gerakan untuk menghilangkan status selebriti atau memberi penghargaan pada korban. Ini menunjukkan bahwa masyarakat menganggap tindakan tersebut sebagai konsekuensi dari perilaku yang tidak etis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun