Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesalahan Memahami Permendikbudristek PPKS Melegalkan Zina

16 November 2021   09:31 Diperbarui: 16 November 2021   09:40 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, telah diputuskan pada tanggal 3 September 2021. Ada tiga dasar pikir yang jelas diekspilitkan dalam konsideran mengapa peraturan ini keluarkan:

  • Perlindungan warga negara dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
  • Meningkatnya kekerasan seksual pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi; dan
  • Kebutuhan kepastian hukum pada proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Sesuai dengan judul dan tujuannya, maka Permendikbudristek ini mengatur tentang kekerasan seksual yang secara jelas didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 "Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal." Lebih jauh, perincian dan unsur perbuatan yang masuk kategori kekerasan seksual diatur dalam Pasal 5 Permendikbudristek ini.

Tentu tidak ada peraturan yang sempurna. Sudah "gawan bayi" atau "dari sononya" bahwa norma tetrulis itu akan mereduksi substansi utuh yang hendak diaturnya. Dengan demikian, tidak ada peraturan yang sepi sama sekali dari kritik. Adanya kritik atas Permendikbudristek ini juga mesti dipandang sebagai dinamika demokrasi dan berhukum kita.

Mengapa Permendikbudristek ini Diributkan?

Wacana yang mengemuka ketika Permendikbudristek ini diundangkan, adalah bahwa Permendikbudristek ini dapat dipahami sebagai norma yang membolehkan perilaku asusila seperti perzinaan. Hal ini karena dalam tiap perbuatan yang ditengarai sebagai kekerasan seksual selalu ada unsur "tanpa persetujuan korban". Dari sini kemudian dapat dibaca sebaliknya, kalau tanpa persetujuan korban tidak boleh karena masuk kategori kekerasan, berarti kalau sama-sama suka "dibolehkan"?

Kita tahu, bahwa issu idiologi maupun agama bagi masyarakat kita masih sangat "laku". Coba saja, perkara PKI maupun issu sara akan menyedot atensi publik. Maka tidak heran jika Permendikbudristek ini juga disoroti dari sudut ini. Narasi bahwa Kementrian Pendidikan dan Kebukayaan melegalkan zina ini akan menjadi issu seksi. Tidak jarang kemudian issu ini "dipaksakan" untuk diangkat.

Kesimpulan yang ditarik bahwa Permendikbudristek akan melegalkan perzinaan jelas "dipaksakan" untuk tidak menyebutnya sesat pikir. Jelas sekali bahwa Permendikbudristek tersebut mengatur tentang kekerasan seksual, maka semua perbuatan yang diatur berkaitan jenis kekerasan seksual. 

Maka ketika ada norma yang mengharuskan adanya "tanpa persetujuan korban" sebagai unsur adanya kekerasan, harusnya ketika unsur tersebut tidak terpenuhi, maka kesimpulannya adalah perbuatan tersebut "tidak termasuk" kekerasan seksual. Cara memahami bahwa dalam logika terbalik (mafhum mukholafah) bahwa "berarti kalau ada persetujuan korban boleh dilakukan" ini jelas melompat pagar nalar.

Kita contohkan, ketika membaca ketentuan hukum "penganiayaan yang menimbulkan kematian diancam dengan..." kita tidak mungkin dan haram menyimpulkan bahwa "kalau menganiaya tidak sampai mati, maka boleh". Ketika membaca bab larangan pencurian bukan berarti memperkosa boleh. Ketika membaca bab pencemaran nama baik, bukan berarti menipu boleh. Ketika membaca bab kejahatan perbankan, bukan berarti menelantarkan istri boleh, dan seterusnya. Jika kita ingin melihat larangan perbuatan korupsi jangan dibaca dalam peratuan perkawinan. Jika kita ingin melihat larangan terorisme jangan baca di peraturan lalu lintas.

Jelas Permedikbud bicara dan mengatur tentang kekerasan seksual, jika kita ingin melihat larangan perbuatan asusila, misalnya pornografi, pornoaksi, zina dan lainnya kita bisa mengakses norma dalam UU Pornografi, atau justru mencari dalam norma agama yang lebih luas.

Jadi, jika yang dimasalahkan adalah tidak adanya norma kesusilaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk Perguruan Tinggi, maka mestinya diusulkan, buat peraturan larangan perbuatan asusila di lingkungan kampus. Bukan mencabut Permendikbudristek tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun