Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebohongan yang Gagal

7 Maret 2021   13:30 Diperbarui: 7 Maret 2021   14:10 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudahlah Ibu, Ibu bisa ceritakan sekarang. Suci kan sudah bukan anak-anak lagi." Aku berusaha melepas dekapan ibu. Aku tak ingin semakin larut. Kuusap air mataku dan ibupun mulai bisa mengendalikan diri.

"Suci, biarlah ini mejadi rahasia ibumu. Menikahlah dengan Eko. Ibu merestuimu." Ibu mengatakannya dengan pelan, tapi jelas sekali.

"Kenapa Ibu tak mau cerita?" Aku masih berusaha mendesak.

"Suci, ini persoalan yang sulit dipahami, kamu masih terlalu polos nak." Ibu keluar kamarku setelah megusap lembut kepalaku dan tersenyum.

Saat itu, aku melihat di mata ibu ada sepasang purnama. Bercahaya terang penuh ketulusan. Air mata yang tadi tumpah, seolah mampu menyapu mendung yang seminggu ini menggantung di langit purnamanya.

"Terimakasih ibu." Kata-kata ini tak mampu terucap.

***

Saat dia menyatakan akan datang melamar diriku. Itu adalah kabar yang paling menggembirakan yang pernah aku dengar darinya. Aku akan segera menikah. Anganku melambung. Bentangan sejarah baru seperti telah digelar sedemikian cerahnya, dan aku bersamanya akan segera beriring menyusuri setiap sudutnya. Indah.

Sampai aku menyaksikan sendiri, pada hari yang aku sebenarnya tak ingin bersedih. Di tengah keramaian pengunjung pantai, kulihat dia duduk dan bermesraan dengan Sulastri, teman sekolahku dulu di SMP. Aku hampir-hampir tak percaya. Saat kudekati, mereka hanya diam tak ada penjelasan. Aku benar-benar shok. Tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis dan berlari menuju bapak, ibu dan saudara-saudaraku yang tengah berkumpul. Mereka tak mengerti melihat aku tiba-tiba datang dengan derai air mata.

Keindahan yang selalu kubayangkan, tiba-tiba menjadi sebilah tombak tajam yang menghujam dadaku bertubi-tubi. Rasa sakit yang kutanggung tak mampu kuungkap. Hanya air mata yang mampu menterjemahkannya dengan fasih.

Dua minggu aku mengurung diriku. Ibuku terus menangis, larut dalam tangisku. Bapak dan saudara-saudaraku tak bisa berbuat apa-apa. Mestinya aku marah. Tapi aku terlalu sedih. Sedih atas kebodohanku. Sedih atas ketololanku, yang mau dipecundanginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun