Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebohongan yang Gagal

7 Maret 2021   13:30 Diperbarui: 7 Maret 2021   14:10 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapi hati-hati Suci, kamu jangan mudah percaya bualan laki-laki. Mereka seringkali berlidah manis jika ada maunya." Ibuku mewanti-wanti dengan ketusnya. Aku hanya mengangguk dan keluar menemui mas Eko.

***

Aku merasa bersalah kepada Ibu. Karena sampai sekarang, ibu masih juga belum bisa menerima Mas Eko. Aku sudah berusaha berulang kali menjelaskan kepadanya.

"Mas Eko itu laki-laki baik bu. Dan menurut penilaianku, mas Eko bisa bertanggungjawab." Semua penjelasanku sia-sia. Ibu tetap saja tidak mau menerima. Bahkan lama-lama aku menjadi semakin takut. Karena dalam kilatan mata ibu, bukan hanya ada penolakan, aku menangkap sebuah kebencian.

"Suci, tidak bisakah kau pertimbangkan lagi keputusanmu itu." Menjelang malam, Ibu datang ke kamarku. Ibu masih berusaha mengubah pendirianku.

"Ibu, apa sebenarnya yang membuat Ibu sangat membenci mas Eko." Aku duduk di atas kasur menghadap langsung pada wajah ibu yang duduk di depanku.

"Suci, Ibu tidak membenci dia. Tapi kamu kan belum mengenal dia lebih jauh." Dengan suara pelan Ibu menjelaskan alasannya.

"Memang Suci belum mengenal jauh tentang mas Eko. Tapi Suci merasakan ketulusan dan keberanian yang terpancar dari mata mas Eko, dan Suci percaya dengan perasaan Suci. Suci sudah merasa cocok dengan mas Eko Bu." Air mataku tak kuasa ku tahan. Satu-satu meluncur bersama segenap tanda tanya. Aku sudah tidak memiliki alasan lain lagi untuk meyakinkan ibu.

Sejenak suasana hening. Hanya suara isak tangisku yang berusah kutahan. Ki tatap ibu. Ibu masih tertunduk.

"Suci, Maafkan Ibumu Nak. Ibu tak bermaksud menghalangimu untuk menikah, tapi mengapa harus dengan dia?" Ibu memelukku erat. Kedua matanyapun berurai air mata.

"Kenapa Bu?" dalam isakanku, aku masih tak mengerti,  tapi ibu terus saja menangis. Dekapan ibu kurasakan semakin erat. Seolah ada sesuatu yang hendak ditumpahkannya selain bulir-bulir air bening matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun