Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ilmu Ikhlas: Sesali Sedekah Anda!

7 Februari 2021   13:21 Diperbarui: 7 Februari 2021   13:31 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berapa kali kita merasa menyesal setelah memberikan sesuatu? Bagi Sebagian orang enggan membahas ini, karena hawatir dituduh tidak ikhlas. Kalau sudah memberi, lupakan. Kira-kira begitu. Namun ikhlas itu ilmu rahasia yang sangat unik. Semakin kita merasa mendapatkannya, maka menunjukkan kalau kita benar-benar kehilangan. "Saya benar-benar ikhlas!", bukankah kita sering mendengar kalimat ini, namun begitu memandang ekspresi wajahnya sungguh tidak mengenakkan?

Ikhlas itu perlu ada trik untuk mencapainya. Salah satu triknya adalah dengan membangun kekecewaan atau penyesalan. Sekilas ini agak bertentangan. Trik ini bertentangan jika kekecewaan atau penyesalan itu dibangun karena kepentingan diri kita yang kita jadikan standar. Tetapi jika sebaliknya, maka kita bisa mendapatkan ikhlas tanpa menyentuhnya. Kita bisa ikhlas tanpa merasa ikhlas.

Suatu ketika ada seseorang yang datang dan meminta untuk dibantu dengan biaya sekian. Kemudian kita membantunya. Tidak jarang setelah itu kita merasa menyesal. Nah, ini kita akan identfikasi. Ada dua model penyesalan. Model pertama, pada umunya terjadi penyesalan karena telah membantu, merasa tertipu, merasa ada sesuatu yang lebih penting untuk dibantu, kok membantunya kebanyakan dan seterusnya. Semua muasal penyesalan itu lagir dari perspektif diri si pemberi karena bagian dari keuntungan dirinya merasa berkurang dari perbuatan sedekah yang diberikannya. Model pertama ini, kita sepakat bahwa itu tidak ikhlas. Bagaimanapun ekpsresinya dan pernyataannya bahwa dirinya ikhlas, tetap saja dia sejatinya tidak ikhlas.

Model kedua, penyesalan karena apa yang telah diberikannya dirasa kurang bisa membantu si peminta atau penerima sedekah. Mengapa saya hanya memberinya segini, apa cukup pemberian saya untuk membantu masalahnya, mestinya tadi saya bisa beri lebih, semoga kapan-kapan ketemu lagi dan bisa saya bantu lebih, dan seterusnya. Penyesalan ini agak unik. Menyesal yang muasalnya adalah atas kebermanfaatan apa yang telah diberikannya? Rasa penyesalan ini tetap tidak nyaman, namun, ini melampau ikhlas.

Melampaui ikhlas karena sifat ikhlas ini melahirkan kenyamanan dan ketenangan atas apa yang telah dilakukan. Penyesalan karena tidak memiliki amal lebih baik tetap ada ketidaknyamanan. Ikhlas, perasaan tenang atas kebaikan, itu lebih baik daripada penyesalan atas perbuatan baik yang sudah dilakukan. Namun penyesalan karena tidak bisa melakukan kebaikan yang jauh lebih baik, lebih dahsyat dari sekedar ikhlas. Rasa penyesalan ini berarti ada kehausan untuk selalu melakukan hal yang lebih baik. Saya tidak dalam maksud untuk merendahkan posisi ikhlas, namun pada bagaimana mendapatkan ikhlas tanpa merasa mendapatkannya. Karena seperti apa yang saya sebut di atas, bahwa ikhlas itu unik, semakin kita merasa memiliki, maka sejatinya kita telah benar-benar kehilangan.

Terakhir, bagaimana triknya? Ini bagi satu orang dengan yang lain tidak sama. Ada kisah, seseorang yang merasa dirinya pelit, tetapi dia orang yang menyadari dirinya pelit. Setiap ada kesempatan bersedekah, dia berusaha menghindar, jika tidak bisa menghindar, dia akan memberi, tetapi hanya sedikit. Tetapi setelah itu semua dia sesalinya, mengapa dirinya bersikap pelit. Dengan begitu, sampai sekarang, dia tidak pernah merasa ikhlas. Tetapi yang unik, dia tidak pernah menyesali yang sedikit yang telah dia berikan. Bukankah ini ilmu ikhlas? Jadi, ringkasnya, kalau pingin ikhlas, jangan bersedekah sampai merasa anda telah bersedakah cukup banyak. Sedikit-sedikit saja... hehehe.

Syarif_Enha@Sorogenen, 7 Februari 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun