Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menembus Batas dan Perilaku Korup

31 Januari 2021   11:17 Diperbarui: 31 Januari 2021   11:32 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ujung pinggir desa sedang dibangun embung dan belum rampung. Seluas lahan 4 hektar bekas sawah yang merupakan tanah kas desa diratakan, digali dan didesain menjadi kolam besar. Sekeliling wilayah proyek dipagar. Tulisan dalam spanduk besar dengan jelas bertuliskan "Selain pekerja proyek dilarang masuk". Tapi yang terjadi, saban sore setelah asar, warga kampung dengan gembira memasuki area proyek. Ada yang mancing, main laying-layang, atau sekedar penasaran.

 Tentu ada alasan mengapa tidak sembarang orang boleh masuk. Mungkin ada banyak material yang harus di amankan atau bangunan proyek yang belum rampung dan berbahaya jika tidak diakses dengan standar keamanan khusus. Tapi, sekali lagi, saban sore, lokasi tersebut begitu ramai didatangi atau lebih tepatnya dimasuki oleh warga sekitar. Tentu warga tidak masuk melalui pintu utama, karena ia selalu dikunci jika sore hari atau ketika proyek sedang libur. Warga masuk melalui sudut pagar yang memiliki ruang seluas satu meter yang memang tidak terpagar karena ada aliran air pembuangan di sana.

Tidak adanya pagar pada titik itu, menjadikan warga memiliki pembenar untuk menyalahkan penyelenggara proyek, dan akhirnya meligitasi kebolehan mereka masuk ke area proyek. "Salahnya tidak ditutup rapat, berarti kita boleh masuk." Begitu kira-kira logika absurd warga sekitar. Itu baru satu alasan, masih banyak alasan lain yang bisa diutarakan. 

"Kan hanya masuk saja, toh tidak merusak", "Kan ini dulu juga sawah yang biasa kita garap", "Jangan terlalu kaku lah, kita kan warga sekitar, sudah semestinya mendapat hak khusus", "Nanti kalau sudah jadi yang akan meramaikan dan mengamankan kita juga", "Sayang saja, kalau ada ruang rekreasi geratis harus nyari yang berbayar", "Mumpung mandor proyeknya tidak ada, biasanya kita diusir juga", dan seterusnya...

Saya melihat perilaku di atas bersifat jamak, alias lazim dilakukan. Faktanya peristiwa di atas bersifat massal, terus berulang dan seakan merupakan sesuatu yang biasa saja, wajar dan tidak masalah. Namun jika dilihat dari sudut yang dalam, ada sifat dan sikap yang berbahaya di sana. 

Pertama, ada sikap meremehkan hukum. Menganggap hukum tidak harus kaku jika bersentuhan dengan diri mereka sendiri jelas adalah sikap melecehkan hukum. "Hukum harus adil, tetapi bagi kami tidak harus", kira-kira begitu. Adanya tulisan dilarang masuk ke areal proyek, mestinya sudah cukup sebagai norma peringatan kepada tiap orang yang membaca dan sedikit berakal, bahwa hanya yang diberi hak dan kewenangan saja yang boleh masuk. Terlepas pagar yang dibuat kuat atau justru bolong-bolong.

Kedua, ada sikap suka menerobos dan aji mumpung. Menimbang bahwa karena ada celah maka harus dimanfaatkan untuk masuk dengan cara yang gratis, jelas ini sikap negatif. Dalam kasus di atas, tentu tidak memiliki efek atau dampak besar. Bagaimana jika sifat dan sikap ini terpelihara dalam aktivitas kehidupan publik? Tidak jarang kita baca banyak pejabat memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Sikap dan cara berpikirnya sama. 

Ketiga, sikap merasa spesial dan harus diutamakan dengan berbagai fasilitas khusus. Merasa domisili dekat dengan lokasi, kemudian merasa harus diutamakan dari yang lain. Inilah barangkali mengapa dalam konteks pemberantasan KKN kita tidak ada kemajuan. Jabatan publik dimanfaatkan untuk mendapatkan askses demi keuntungan. Kedekatan dengan pengambil kebijakan dan aparat dianggap sebagai prestasi. Lazim juga kita mendengar cerita ketika seseorang terkena razia lalu lintas bisa lepas begitu saja karena mengaku memiliki hubungan dekat dengan para pejabat di tingkat wilayah.

Tiga sifat dan sikap itu yang sering kita temui dalam masyarakat kita, di hampir banyak kesempatan. Tiga sikap tersebut adalah embrio dari perilaku korup. Maka menjadi masuk akal jika ada beberapa pihak menyebut bahwa korupsi sebagai budaya. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab, mengapa sifat dan sikap itu bisa lekat dalam benak sebagian besar dari kita? Seolah-olah tertanam begitu saja. Jika sudah kita uraikan jawabannya, mari kita mulai merumuskan altenatif solusi-solusinya. Karena jika akarnya tidak dicabut, sesering apapun kita memotong batangnya, akan segera tumbuh tunas baru. 

Syarif_Enha@Tegalsari 31 Januari 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun