Sekilas saja, rumah itu sudah tampak tua. Sangat tidak nyaman untuk dilihat. Dengan model teras yang sudah ketinggalan jaman, halaman kering tak terawat, daun jendela yang berdebu, ditambah dengan warna cat putihnya yang sudah memudar berubah kekuning-kuningan. Lantai jenis ubin hitam yang sudah retak di sana sini semakin menunjukkan model apa orang yang tinggal di dalamnya.
Mereka pasti orang kuno yang masih bertahan hidup, yang memegang teguh ajaran substansialis, yaitu ketidak-pentingan ujud jika fungsi masih bisa dimanfaatkan. Tidak ada estetika apalagi nilai seni. Kaku dan konservatif.
Aku masih berdiri di depan rumah itu. Sengaja berlama-lama untuk meredam gejolak hati yang tiba-tiba turut membuncah retak, seperti ujung-ujung kayu penyangga genting yang terkena hujan. Perlu kekuatan lebih untuk melangkahkan kakiku masuk. Bukan saja karena rumah itu terlalu buruk untuk ku masuki, tapi lebih karena aku akan bertemu dengan orang-orang di baliknya. Orang-orang? Mungkin lebih tepatnya keluargaku, Bapak, Emak dan Kang Karyo. Bagaimanapun aku harus masuk.
***
+ "Hah, aku lelah. Mengapa mesti 'aku' lagi. Bukankah di awal cerita ini kau setuju kalau yang cerita 'dia' atau entah siapa?"
= "Sudahlah, selesaikan saja. Lagian kamu harus banyak berlatih menjadi dirimu sendiri dulu."
+ "Tapi mengapa tidak pernah kau tawarkan padaku cerita yang gembira? Selalu saja sarat dengan beban hidup. Aku lelah Jo..."
= "Baiklah, lain kali mungkin akan kubuat dirimu lebih bahagia. Tapi selesaikan dulu ceritamu itu."
+ "Sudah berapa kali kau janjikan itu padaku? Sudah berpuluh-puluh kali, dan sudah berpuluh-puluh kali pula cerita pahit yang aku selesaikan. Kamu betul-betul memperalat diriku!"
= "Ha..Ha..Haa. Baguslah. Kamu memang harus dipaksa Jim. Nanti setelah cerita ini selesai, ada kisah indah, hadiah buat kamu. Aku janji."
***