Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegelapan Itu

13 Oktober 2020   08:39 Diperbarui: 13 Oktober 2020   08:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika kita terpaksa harus memilih, apakah akan memilih kehilangan mata, lidah, telinga, atau kaki dan tangan? Jika boleh, tentu kita tidak ingin salah satunya. Namun keinginan kita kadang tidak selalu sejalan kenyataan.

Ketika melihat seorang yang bisu, saya berpikir bahwa ia akan menjadi orang yang kesulitan untuk mengkomunikasikan maksud dan kehendaknya kepda orang banyak. 

Ketika melihat orang yang pincang, saya berpikir bahwa dia akan kesulitan untuk melakukan perjalanan panjang dalam kehidupannya. 

Ketika melihat orang yang tuli, saya berpikir bahwa dia akan kesepian sepanjang hidupnya. Dan ketika dia buta, saya berpikir bahwa dia tidak akan bisa menyaksikan betapa luasnya semesta. Ternyata saya keliru.

Memang lidah adalah alat pengucap untuk mengutarakan maksud, namun ketiadaan lidah bukanlah belenggu bagi seseorang untuk tidak berkomunikasi dengan orang lain. 

Bahkan saya lebih banyak melihat orang yang memiliki lidah dan fasih bicara mengutarakan kata-katanya, namun tak mampu mengutarakan isi hati dan kejujuran jiwanya. 

Dia bahkan lebih banyak diam tak berpendapat ketika sebenarnya bisa bicara hanya karena kepengecutannya menghadapi kenyataan dan tekanan.

Memang kaki dan tangan adalah sarana untuk bisa bergerak dan berkarya, namun ketiadaan keduanya bukan berarti seseorang itu menjadi tidak berarti sama sekali. 

Saya justru melihat banyak orang yang memiliki kaki tangan lengkap, namun perangai dan tindaknya sama sekali bukanlah kemanfaatan. Lebih banyak kerusakan dan bencana yang ia ciptakan. Banyak juga yang kedua kaki dan tangannya begitu tangkas, namun hanya diam karena miskinnya hasrat.

Memang, telinga adalah alat pendengaran, namun ketiadaannya bukan berarti ia akan tergerus arus dunia yang  begitu penuh dengan riuh informasin dan pengetahuan. Justru saya lebih banyak melihat orang yang memiliki pendengaran begitu sempurna.

Namun tak mampu atau bahkan enggan untuk memahami ilmu dan informasi yang masuk ke kepalanya. Cawan egonya begitu penuh, sehingga pendengarannya ia tutup rapat dari uraian mutiara kebenaran yang murni.

Benarlah bahwa mata merupakan alat pengindra untuk bisa menangkap bias cahaya yang menaburkan beraneka warna. Akan tetapi ketiadaan mata, bukan berarti seseorang terbelenggu dalam kekerdilan. 

Saya justru banyak menyaksikan, banyak orang yang memiliki dua bola mata yang indah tidak juga melahirkan keluasan pandangan dan kearifan bertindak. 

Penglihatan mereka banyak terbentur pada tembok-tembok sempit yang mereka bangun dalam kehidupannya. Mereka tidak mampu menemukan titik nilai yang luas dan dalam dari sekian banyak peristiwa yang terhambar.

Begitulah, akan ada banyak lagi deret daftar keharusan-keharusan yang kita pikir wajib ada agar kita bisa melakukan hal lebih. Dan kemudian dengan membangun deret itu, secara tidak langsung kita membatasi diri kita untuk tidak bisa melakukan apapun tanpa keberadaan hal-hal dalam daftar itu. 

Misalkan untuk bepergian kita membatasi harus ada motor, maka yang terjadi kita tidak akan kemana-mana hanya karena tidak ada motor, padahal masih ada dua kaki kita yang kokoh bisa berjalan. 

Ketika untuk bisa belajar harus ada bertumpuk-tumpuk buku, maka kita benar-benar akan menjadi orang yang bodoh hanya karena terjebak hutan belantara, padahal ada banyak ilmu yang tersebar bisa kita raup tanpa lembar-lembar buku sama sekali.

Ada banyak hal yang kita sangka menjadi alat yang harus ada, ternyata justru melemahkan potensi kita untuk bisa mandiri. Kita semakin lemah dengan menggantungkan diri pada keberadaan benda-benda, alat-alat, atau kondisi-kondisi tertentu.

Saya tersadar akan hal itu semua ketika Embah saya di usia udzurnya tidak lagi bisa melihat, pendengarannya sudah jauh berkurang, kakinya sudah lemah untuk melangkah, dan tangannya sudah tidak mampu lagi mengangkat satu gelas minuman sekalipun.

Namun ternyata dari lidahnya masih bisa keluar kata-kata yang begitu bijak penuh tenaga, "Kegelapan itu tidak ada, selama kita mengetahui arah dan jiwa kita tidak berhenti untuk terus melangkah meraih tujuan." Syarif_Enha.
*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun