Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Langit

30 September 2020   07:28 Diperbarui: 30 September 2020   07:36 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu kali saya pernah membaca, "ajarilah anakmu memandangi langit". Namun seperti biasa, saya lupa dimana tulisan itu kutemukan, dan saya tidak sepenuhnya mengerti maksud rangkaian kata-kata itu. Akhirnya terpaksa saya menafsir-nafsirkan.

Di langit, dapat kita temukan sesuatu yang dapat dinikmati tanpa harus disentuh dan dimiliki. Tidak perlu berebut dan tidak perlu berdebat. langit akan memberikan gambaran-gambaran imajinasi melalui gumpalan dan hamparan awan yang tak pernah seragam setiap harinya. Siapapun di bebaskan untuk membentuk gambarannya sendiri sesuka hati, dan sekaligus belajar untuk menemukan arti dari setiap benda yang yang dipandangnya tidak berhenti pada benda yang dilihatnya.

Langit menawarkan beragam interpretasi yang bebas bagi siapa saja untuk menafsirkannya. Bagi seorang yang tengah gembira, langit sperti ikut merayakannya dengan gumpalan-gumpalan mendung yang mempesona. Bagi seorang yang tengah dirundung duka, langit seperti mengerti pada waktu yang sama, melukiskan kesedihannya dalam kanfasnya yang luas dengan beraneka buntuk awan. Langit seolah mengerti kehendak dan kemauan setiap orang yang memperhatikannya.

Namun sekarang kita sudah jarang melihat langit. Kita begitu sibuk mempersiapkan kehidupan kita untuk esok hari. Berangkat pagi buta, sebelum langit begitu jelas tampak, dan kembali pulang ketika langitu sudah terselimuti gelap. Kita pun tak sempat melirik beraneka bintang yang berserak di malam hari, karena badan begitu payahnya. Sebenarnya bukan masalah kita akan menikmati langit atau tidak, tetapi apakah kita masih bisa menangkap esensi keberadaan langit beserta mozaik yang menghiasi, saban harinya?

Diakui atau tidak, lambat laun kesadaran kita akan nilai-nilai mulai kabur. Kita semakin kesulitan dan mungkin bahkan enggan untuk berpikir sejenak untuk menemukan ruh dari suatu benda maupun peristiwa. Waktu hanya dimengerti dengan berdetaknya detik yang terus beredar. Kita gagal menemukan makna.

Kehidupan kita sudah diukur dengan segala angka dan ukuran yang pasti. Sedih itu diukur dengan air mata, warna hitam, dan lagu-lagu sendu yang menyayat. Sementara harta, tawa dan canda menjadi standar dari keberhasilan dan kebahagiaan. Adil diukur dari kuatnya alat-alat bukti, bagaimanapun caranya alat-alat itu diadakan. Baik adalah jika ada keuntungan yang diterimakan. bagaimana mungkin kita akan membangun sebuah peradaban jika kita tak bisa memahi sebuah gambaran atau abstraksi?

Kita sudah membunuh hati kita sendiri. Rintihan kesakitannya tidak pernah kita perdulikan. Ketika dia menjerit karena telah kita tusuk-tusuk dengan materialisme, hedonisme, kita dengan jahatnya tak pernah sekalipun meliriknya. Kini dia telah mati. 

Dan ketika kita terbentur dengan begitu besar masalah, tidak ada lagi suara lembut yang menenangkan kita. Tidak ada lagi nada bijak yang menentramkan hidup kita. Keputusan-keputusan dalam kondisi pikiran gundah dan buntu, seringkali menampilkan pemandangan yang mengerikan.. Bunuh diri menjadi alternatif yang sering kita anggap rasional.

Barangkali memandang langit bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Namun cobalah sempatkan dipagi atau sore hari melayangkan pandangan ke ufuk timur dan barat. Lambat laun maka kita akan tahu bahwa setiap harinya Tuhan memberikan kehidupan yang benar-benar baru untuk kita semua. Sehingga tidak selayaknya kita sampai pada kesimpulan untuk menyatakan diri putus harapan.

Anak-Anak Langit

Ketakutan-ketakutan akan kelanjutan hidup di dunia ini, kadang labih besar bagi kita dibanding dengan kelanjutan hidup kita nanti setelah dunia ini. Sehingga kita begitu sibuk untuk persiapan masa tua kita di dunia.

Ketakutan-ketakutan itu menuntun langkah dan pertimbangan kita atas masalah-masalah yang kita pikir akan berpengaruh pada masa depan kita di dunia. Sedikit sogokan tidak jadi masalah jika masa depan hidup kita nanti sampai mati akan lebih sejahtera. Melakukan korupsi dianggap sebagai sebuah keperluan, agar masa tua kita bisa dijalani dengan tenang. 

Sangat sedikit dari kita yang berani untuk mengatakan tidak bagi masa depannya. Barang kali karena kita telah lupa pada perjanjian primordial kita dengan Tuhan, dulu ketika ruh kita hendak ditiupkan-Nya ke dalam jasad. "kepadaKu kau akan menyembah, dan Aku yang akan menjamin kehidupannmu." Begitu kira-kira Tuhan menjanjikan kepada kita. namun, meski begitu kita sering ragu, jangan-jangan Tuhan akan mengingkari janji-Nya.

Pada akhirnya, setiap orang tualah yang harus mendidik anak-anaknya masalah moralitas dan budi pekerti luhur. Mengajaknya mengerti warna dan paduannya yang begitu beragam. Tentang alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan. Tentang agama dan Tuhan. Tentang sedih dan gembira. Tentang tenteram dan sejahtera. Agar anak-anak tumbuh dengan mental yang kuat dan tegas dalam keputusannya. Agar hatinya terus menuntun menjadi lentera hidup, yang merupakan pembiasan dari pancaran kalimat-kalimat Tuhan-Nya.

Mudah untuk mengatakan sesuatu itu adil atau tidak adil, baik atau buruk, benar atau salah, culas atau jujur, munafik atau tulus. Yang paling sulit adalah untuk melakukan dan menjalaninya. Jika kau dihadapkan pada dua pilihan dan kau harus memilih, maka pilihlah yang adil, baik, benar, jujur dan tulus. 

Meski kau harus berkalang tanah kemudian. Karena sebenarnya tidaklah kau selesai dalam kalangan tanah yang mengubangimu, namun sejatinya kau terus berjalan dan telah melahirkan "anak-anak" baru yang akan terus melanjutkan pilihan-pilihanmu itu. Itulah anak-anak langit yang akan ikut menjadi saksi di hari perhitungan. Itulah anak-anak langit yang akan sesekali turun dan hinggap dalam benak anak manusia untuk melanjutkan pilihan-pilihan murnimu itu. Semoga. Syarif_Enha@Semarang, 16 Mei 2010

*Pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun