Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia dan Perlawanan

24 September 2020   09:56 Diperbarui: 24 September 2020   10:07 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mengasumsikan pembaca tulisan ini adalah orang-orang baik semua. Karena tidak ada alasan bagi orang jahat untuk membaca semua ini. Jahat-jahat saja. Nagapain harus baca. Jika pun ada yang membaca, bearti dia sedang dalam perjalanan hijrah menuju baik. Karena saya hanya memproduksi tulisan bagi orang-orang baik. Ada juga yang mengaku orang jahat. Ingat, tidak ada orang jahat yang secara sadar mengatakan bahwa dirinya jahat. Jika ada kesadaran itu, maka sejatinya dia adalah orang baik, namun berada dalam ketersesatan.

Baiklah, jahat akan saya definisikan "menurut saya". Jangan ada yang protes, karena ini tulisan saya. Kalau mau protes, bikin tulisan sendiri, dan definisikan sendiri. Jahat itu, situasi manusia gagal memahami fungsi baiknya di dunia. Sehingga dia melakukan perbuatan yang merusak dan merugikan. 

Orang jahat tidak pernah berpikir baik, tidak pernah melakukan hal baik, dan tidak pernah bertujuan mencapai kebaikan. Semua adalah dalam rangka pelampiasan. Orang jahat itu seperti api. Ia membakar bukan karena bertujuan menghangatkan, ia menghabiskan dan menghanguskan. 

Api mati bukan karena berhenti membakar, tetapi karena tidak ada lagi bahan bakarnya. Hanya saja, api tidak muncul dengan sendirinya. Ia muncul dari reaksi kimia tertentu. Dan bisa jadi, api menghabiskan juga sumber kelahirannya. Bisa jadi, kejahatan itu terlahir dari reaksi terhadap orang-orang baik yang ada. Yang kemudian menghabisi orang-orang baik itu tanpa belas kasihan.

Apa yang mau dilawan?

Salah satu "problem" kita sebagai orang baik, terlanjur hidup dalam susunan konsep moral yang aman. Bahwa kita harus hidup dengan baik. Adaptif, kompromis, berbagi, damai dan penuh kasih, tidak dendam dan mudah memaafkan. Tidak suka mencari-cari kesalahan, dan lebih baik menghargai kebaikan-kebaikan. 

Tidak suudzon apalagi sampai berghibah. Menerima dan bersyukur. Lebih baik mengalah daripada ribut dengan orang lain. Dan sekian konsep moral lain yang sejenis. Kita, atau lebih tepatnya saya, sejak kecil senantiasa didengungkan atas kepala saya nilai-nilai itu. Namun ternyata ada "masalah".

Mengapa hanya nilai-nilai itu yang benyak didengungkan di kepala saya. Saya amati dan perhatikan selanjutnya adalah karena saya hidup dalam lingkungan masyarakat yang "lemah". Lemah dalam artian masyarakat di mana saya tinggal tidak memiliki askses yang cukup untuk mengekspresikan nilai-nilai moral yang kuat. 

Terlahir sebagai keluarga petani, besar dalam tradisi agraris, dan berkeluarga dengan orang dalam lingkungan yang sama, membentuk pola pikir dan standar moral yang "lemah" lagi "mapan". Jangan berharap ada revolusi dari masyarakat agraris seperti itu. Revolusi harus disuntikkan.

Selain nilai sikap moral baik tetapi lemah di atas, sebenarnya kita punya tatanan nilai moral yang baik, dan itu lebih kuat dan unggul. Seperti adil, tegas, pembangunan, pemerataan, waspada, antisipatif, pencegahan dan pemberantas kemungkaran, penegakan hukum, kreatif, inovatif, kompetitif, dan seterusnya. Nilai moral ini membawa manusia dalam situasi produktif dan aktif. Namun nilai moral sikap hidup ini agak terlambat saya serap, karena memang tidak pernah dihembuskan.  

Jangan heran, jika kita bertemu dengan pemuda yang memiliki sikap lembut. Ketika diajak berjuang, dia malah memberikan tausiyah tentang bersyukur atas segala nikmat yang ada. Itu semua karena ada basis nilai yang kurang "jangkep". Apa yang harus dilawan. Keadaan? Apa bisa keadaan dilawan? Dia tidak pernah berpikir, dan memang tidak ada basis moral yang menuntunnya untuk terpantik, bahwa keadaan itu diciptakan juga oleh manusia. Maka manusia pula yang bisa mengubah keadaan itu. Dengan basis moral yang tepat tentunya.

Itu adalah gambaran, selayang pandang dari sosial kehidupan yang saya alami dan amati, bisa jadi tidak sepenuhnya benar. Kemungkinan besar terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama di pedalaman atau desa-desa. 

Ketika masih kecil dihembuskan nilai-nilai moral yang lemah. Begitu dewasa, dia menyerap nilai moral yang kuat, namun terlambat, sehingga dia meninggalkan nilai-nilai moral yang lemah, yang merupakan pondasi kebaikan juga. Hasilnya, dia menjadi liar. Ketika kuat, dia menjadi tidak terarah, karena kecewa dengan nilai moral yang selama ini diterimanya tidak memberikan apa-apa.

Terkahir, hidup itu harus lengkap, seimbang, dan sebanding. Setiap hal tercipta ada pasangannya. Yang tidak ada pasangannya, itu "dibuat-buat". Tentu tidak ada yang sempurna. Tetapi, sebisa-bisanya kita menyerap ilmu semesta. Perkara hasil, kita titipkan kepada Tuhan saja.

Syarif_Enha@Nitikan, 24 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun