Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalah

19 September 2020   20:52 Diperbarui: 19 September 2020   20:55 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalah itu bisa terjadi dalam banyak keadaan, tetapi semua itu hanya dalam sekala perang, perlombaan atau permainan. Meskipun tidak kita sebutkan dengan jelas perang melawan siapa, permainan dan perlombaan dalam bentuk apa, ketika kita merasa kalah, maka dalam benak kita ada konstruksi persaingan, perebutan maupun perbandingan. 

Bahkan ketika kita terpaksa memutuskan untuk mencuri, kemudian menyesal, maka kita akan merasa kalah berperang melawan godaan. Selain itu, setiap kegagalan yang kita alami dalam mengusahan sesuatu, kita sering menyebutnya kalah. 

Mungkin karena kita kadang terlalu sentimentil, maka ketidak-beruntungan kadang juga disebut kalah, sering kita katakan, "kita kalah untung". Seolah-olah untuk mendapatkan keberuntungan itu kita harus berebut dengan siapa saja.

Jika kita mengalami kekalahan, maka kita bisa merasa nelangsa, sedih, kecewa, pasrah, menyerah, atau sebaliknya kita bisa merasa marah, jengkel, dendam, atau bahkan tumbuh semangat ingin membuktikan kalau kita bisa menang dengan usaha kembali untuk melakukan "pembalasan". 

Kita bisa memilihnya sendiri untuk bersikap seperti apa. Namun biasanya perasaan itu bercampur aduk tanpa bisa kita kendalikan karena muncul begitu saja secara otomatis, seperti rasa sakit di ujung jempol kaki saat tidak sengaja "menjegal" batu di jalanan.

Setiap kita pasti pernah merasa kalah. Bahkan tidak jarang karena kalah yang terlalu sering atau kalah yang tak kunjung selesai, tidak jarang membuat kita lelah. Begitu lelah hingga kita menyerah dan berhenti untuk berusaha, yang dalam bahasa kita sering disebut frustasi.

Suatu ketika saya berkunjung ke rumah seorang kawan. Panjang lebar dia bercerita tentang perjalanan panjang hidupnya yang tidak kunjung membuahkan kemenangan, hanya kekalahan dan ketersisihan dalam setiap persaingan yang terus saja dia alami. 

Sehingga sampai saat ini dia begitu takut untuk sekedar memilih tujuan. Hidupnya mengalir saja tanpa target apapun. Angan-angannya untuk mencapai hidup berlebih dalam materi sudah dia kubur. Kata cukup sekarang benar-benar dia rasakan. 

Semua telah dia pasrahkan kepada Tuhan yang Maha Menentukan. Meski dia merasa kalah dalam persaingan secara materi, dia mengaku merasa tenang dan damai. Tuhan saja cukup baginya.

Di lain kesempatan, ketika berbincang dengan kawan yang lain, dia juga bercerita panjang. Dia ingin pindah tempat kerja karena merasa nuraninya selalu terusik ketika harus membuat kebijakan tertentu dalam bidang kerjanya di sebuah perusahaan di bagian HRD. 

Tidak jarang dia harus melakukan pemecatan karyawan dengan alasan normatif peraturan perusahaan atau karena konflik dengan pimpinan. Padahal dia tahu bahwa hampir semuanya begitu butuh dan menggantungkan hidup dari pekerjaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun