"Wah, kalau begitu, aku tidak jadi menggerakkan kudanya. Kita ulang satu langkah saja." Aku minta dispensasi. Tapi dijwab capat oleh Ayah.
"Nah, ini juga harus kau ketahui. Apakah ada waktu yang berjalan terbalik? Sore jadi siang, siang jadi pagi dan pagi jadi malam? Inilah saatnya kita belajar tanggungjawab dan berani menanggung resiko. Segala apa yang kita putuskan dan lakukan selalu beresiko, kamu harus jantan untuk tidak pengecut melakukan langkah mundur. Makanya pertimbangkan masak-masak jika memutuskan langkah."
"OK, baiklah, aku akan berhati-hati." Ternyata negosiasiku dengan Ayah gagal. Sementara Ibu mengelus-elus pundakku memberi dukungan. Sementara di luar, hujan sepertinya sudah reda.
Setelah aku di'skak', langkahku lebih terarah, aku tidak mungkin mundur. Semua pion yang kumiliki kususun membentuk garis diagonal zig zag, menutup semua gerak lawan yang hendak menyusup. Menteri kususupkan keluar, kudaku kutaruh di tengah medan. Beteng telah berhasil kukeluarkan dari kandangnya, hanya Mahapatih yang masih kupertahankan. Hingga pada satu titik langkah, Mahapatih kuangkat tinggi-tinggi, kemudian kujatuhkan dengan mantap di samping Raja Ayah. Tak!
"Skak!" Dengan suara mantap kutirukan Ayah. Aku tersenyum bangga dan sesaat kulihat Ayah kebingungan. Sejenak dia terdiam, kemudian berkata datar.
"Satu lagi yang mestinya kau pahami dan itu tidak harus dari permainan ini, adalah tentang bagaimana bermain catur ini, yaitu 'Sopan Santun'." Selesai bicara Ayah berdiri dan beranjak pergi. Aku masih belum mengerti, tapi setelah kuperhatikan ternyata Raja Ayah tidak lagi bisa bergerak ke mana-mana. Raja Ayah telah mati, Ayah kalah dan aku menang. Dan tiba-tiba saja aku ingin tertawa gembira.
Sementara itu, di ruang sebelah kudengar Ayah setengah berteriak dengan jengkelnya,
"Dasar anak tidak sopan!" Tapi aku masih saja tertawa, dan ibu tersenyum geli sambil mengusap kepalaku bangga.
"Tidak ada sopan santun dalan permainan catur." Pikirku.
Jogja, 15 September 2008