"Apa ada makna dari hitam dan putih itu Ayah?"
"Ow, itu hanyalah masalah perspektif. Dalam permainan ini harus fair, tidak ada penjahat dan jagoan. Hitam bukan representasi kejahatan begitu juga putih bukan perwakilan kesucian. Karena dalam permainan ini kita sama, membunh dan mengalahkan. Hanya dari perspektif masing-masinglah yang akan menentukan mana kawan dan mana lawan, mana baik dan mana buruk, mana adil dan mana curang, dan semua itu akan berbanding terbalik dengan perspektif lawan."
"Tapi mengapa putih yang harus jalan duluan?"
"Itu karena kecenderungan manusia kebanyakan saja, tidak jadi soal jika hitam jalan duluan sebelum putih."
"Kalau begitu aku memilih bidak hitam Ayah, dan akan jalan duluan." Kuputar papan caturnya, sehingga bidak-bidak hitam menjadi tentaraku.
"OK. Ayo mulai."
Akhirnya permainan dimulai, semua ilmu yang kuterima segera kuterapkan. Ibu masih ikut duduk menyaksikan permainanku dan Ayah. Beberapa kali Ayah kudesak, tapi lebih sering aku yang kebingungan. Tiba-tiba Ayah berteriak mantap.
"Skak!"
"Mengapa Ayah mengatakannya? Bukankah kalau diam saja, nanti Rajaku bisa langsung dibunuh?" Aku mengungkapkan keherananku.
"Oh iya. Jika dalam permainan kau berhasil mengancam langsung Raja musuh, harus mengatakan 'skak!', dan yang di'skak' harus menggeser atau melindungi Rajanya dengan bidak lain, tidak boleh tidak. Memang ini permaian strategi dan kejelian, tapi ini juga media belajar, dengan dikatakan 'skak', maka kamu bisa instropeksi dan lebih waspada, karena ternyata dirimu sedang terancam mati." Ayah menatapku, kemudian melanjutkan.
"Dalam hidup sesungguhnya, mungkin akan jarang yang memperingatkan jika iman kita terancam. Diri kita sendirilah yang mesti berhati-hati dan waspada. Makanya, sering-seringlah melakukan instropeksi diri." Aku hanya manggut-manggut mengerti.