Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ucapan Terima Kasih

2 Agustus 2020   12:10 Diperbarui: 2 Agustus 2020   12:00 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terimakasih merupakan sebuah bentuk penghargaan atas pemberian atau kebaikan orang lain. Dan itu sangat umum dan bahkan sudah menjadi sebuah budaya, menjadi norma sopan santun bermasyarakat kita. Bahkan kita telah diajarkan oleh ayah dan ibu sejak masih kecil. Setiap diberi sesuatu, maka kita akan dituntun untuk berucap terimakasih. 

Seseorang akan dikatakan sebagai "tidak tahu terimakasih" jika diam saja begitu dia diberi sesuatu, atau tidak membalas pemberian dengan yang serupa. Dan orang yang dicap dengan label "tidak tahu terimakasih" tersebut, sudah pasti akan mendapat perlakuan sinis dari tetangga dan kawan-kawannya.

Begitu pula ketika seseorang telah berhasil melakukan sebuah kebaikan, serta-merta semua pihak memberikan selamat dan memujinya. Terasa ada yang kurang saat sebuah keberhasilan tidak diiringi dengan ucapan selamat atau sekedar pujian. 

Sehingga di masyarakat kita sangat lazim ketika mendengar seseorang menerima penghargaan, seorang penulis memperoleh nobel, seorang tokoh mendapat gelar doktor honoris causa dan sebagainya. Bahkan seorang yang meninggal masih kita beri anugerah gelar pahlawan.

Dalam perspektif di atas, terimakasih dan pujian tidak menjadi soal. Keduanya merupakan praktik bermasyarakat yang didasarkan pada budaya dan ukuran materi. Namun ketika dilihat dari perspektif rohani, kaum sufi, setidaknya Jalaluddin Rumi, memiliki pandangan yang berbeda.  

Rumi dalam Kitab Fihi Ma Fihi menyatakan: Jika aku tampak kurang menunjukkan rasa syukur dan penghargaan kepada kebaikan dan dukungan yang kamu tunjukkan, baik secara langsung maupun tidak, ini bukan karena kesombongan atau karena kejumudanku, maupun karena aku tidak tahu pentingnya membalas kebaikan dan cintamu. 

Tetapi aku sadar dari kemurnian usahamu bahwa kamu melakukan semua ini dengan tulus demi Allah semata sehingga aku meninggalkannya kepada Allah untuk berterimakasih kepadamu. 

Jika aku menyibukkan diri dengan berterimakasih kepadamu, dengan memberimu penghormatan verbal dan memujimu, itu sama saja dengan seolah-olah sebagian perbendaharaan yang telah disisihkan Allah untukmu sudah diberikan, sebagian ganjaranmu telah ditunaikan.

Sikap-sikap rendah hati, yang menyampaikan syukur dan pujian_inilah kesenangan duniawi. Tetapi ketika kamu telah pergi menuju penderitaan duniawi seperti pengorbanan kekayaan dan jabatan, bagaimana dapat kesenangan duniawi menjadi ganjaran yang memuaskan. Oleh karena itu, aku tidak menawarkan terimakasih karena ganjaran itu berasal seluruhnya dari Allah.

Kemudian Rumi menceritakan kisah tentang Syekh Nassaj. Suatu hari seorang cucu Ali sedang memuji seorang hakim ketika berdiri di dekat hakim itu, seraya berkata, "Tak ada hakim seperti manusia ini di manapun adanya di dunia. Dia tidak mengambil suap. Dia menyebarkan keadilan kepada orang lain tanpa pamrih, secara murni dan tulus demi Allah semata." 

Ketika Syekh Nassaj mendengar ini, dia menjawab, "Mengatakan bahwa dia tidak menerima suap jelas merupakan kebohongan. Kamu seorang cucu Ali yang terhormat, memuji dan memujanya di depan wajahnya, dengan berkata bahwa dia tidak mengambil suap. Bukankah itu suap? Apa yang dapat menjadi suap lebih baik daripada itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun