Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Upah, Berkah, dan Hukum

10 Juli 2020   01:35 Diperbarui: 10 Juli 2020   01:33 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Orang yang mengerjakan sesuatu melebihi dari apa yang diterimanya sebagai upah, cepat atau lambat akan menerima upah lebih dari apa yang dikerjakannya". Saya menyebutnya "keberkahan", kebaikan berlebih yang diberikan langsung oleh Tuhan.

Oleh karena itu, maka lakukan dengan semaksimal mungkin apa yang bisa dilakukan, dan jangan kau bebani pikiran dengan masalah imbalan apa yang akan diterima. Karena pada prinsipnya, jika seseorang bekerja maka ia akan dihargai.

Orang yang menghabiskan energinya untuk bekerja sebaik-baiknya akan lebih banyak mendapat penghargaan, dibanding orang yang menyisakan energinya untuk menghitung-hitung jumlah penghargaan atau upah yang mestinya dia dapatkan.

Tetapi jangan salah sangka. Ini adalah nasehat bagi para pekerja. Bukan nasehat bagi para pemimpin dan pemilik perusahaan. Ada nasehat lain untuk mereka, "berikan upah pekerjamu dengan pantas, sebelum keringat mereka mengering".

Inilah ajaran nilai. Ia harus tepat disampaikan dan diterapkan. Hasilnya adalah kebaikan bersama. Jika tidak, kita justru akan melahirkan kerusakan sosial. Coba saja nasehat di atas dibalik, yang mestinya disampaikan kepada pekerja justru diterapkan oleh pemilik usaha, dan sebaliknya. Yang terjadi adalah, seorang pekerja pragmatis dan mudah menuntut, dan seorang pemilik usaha yang dzalim melanggar hak-hak kaum pekerja.

Namun, bagaimana pun, ini adalah ajaran tentang nilai. Ia bersifat sangat lembut dan personal. Tidak ada ukuran yang pasti dan tidak mungkin ia dipaksakan. Ia hanya dapat ditanamkan. Ini membutuhkan ilmu lain, disebut ilmu dakwah. Keterampilan menyeru, mengubah dan menanamkan nilai. Namun tetap saja, hasil luarannya tidak bisa diukur dengan pasti.

Ada tiga kemungkinan, diterima sebagai nilai baik dan dijalankan, ini yang akan melahirkan manusia utama. Atau dia diterima sebagai nilai baik tetapi tidak dijalankan. Tetap saja, dia hanya menjadi tulisan resep yang tidak memberikan pengaruh apapun pada si sakit. 

Kemungkinan ketiga, ia akan diabaikan, karena ada nilai praktis dan pragmatis lain yang secara matematis bisa segera diperoleh "hasil"nya. Maka jika kemungkinan ini yang terjadi, maka ajaran nilai itu hanya akan menjadi omong kosong saja, angin lalu yang eman-eman. Namun, meski begitu ia akan seperti angin, meski berlalu, ia menyejukkan, meski sesaat. Sekedar manis-manis di bibir.

Demi melihat lemahnya ajaran nilai, maka nilai-nilai itu perlu di dukung dengan norma yang lebih kuat, yakni hukum. Hukum merupakan norma yang paling nyata mampu memaksa setiap orang yang berada pada ruang lingkup yurisdiksinya agar patuh. Tentu saja karena dia memiliki piranti ancaman berupa sanksi. 

Ukuran kesuksesannya jelas. Secara objektif, pekerja berhak menerima upah layak dan pengusaha wajib memenuhinya. Sebaliknya, pengusaha berhak atas kinerja baik pekerja, dan mereka wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggungjawab. Jika ada pelanggaran, hukum diterapkan dengan serangkaian sanksi. Dengan demikian, hukum telah sukses besar.

Syarif_Enha@Kebumen, 8 Oktober 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun