Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Semu

28 Juni 2020   11:13 Diperbarui: 28 Juni 2020   11:15 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Anak kita bukan milik kita, mereka milik Negara...."

"Gombal! Apa kita berpikir tentang negeri ini saat memberi mereka makan?"

(Salah satu dialog dalam terjemahan cerpen Luigi Pirandello(1867-1936) berjudul Perang)

Dialog di atas merupakan cuplikan dialog dari cerpen Luigi Pirandello(1867-1936), seorang cerpenis kelahiran Sisilia yang memperoleh nobel dari pemerintahan Inggris. Cerpen tersebut menceritakan tentang keterkaitan masyarakat, individu dan sejarah Italia. 

Kompleksitas hubungan ketiga hal tersebut dibalut dalam satu plot yang apik. Satu kesimpulan yang mungkin dapat diambil adalah bahwa tidak ada kerelaan total dari seseorang untuk memberikan pengorbanan bagi bangsa dan negaranya. Pengorbanan itu tidak lebih dari sebuah pemenuhan kewajiban konstitusi semata. Sehingga ungkapan yang tepat untuk menjelaskan cerpen tersebut adalah bahwa besarnya sebuah negara dibangun di atas cucuran air mata keluarga pejuang. Nasionalisme menjadi omong kosong semata.

Indonesia memiliki lagu nasional padamu negeri, yang dihafal hampir setiap anak sejak masuk sekolah taman kanak-kanak. Dalam lagu itu, tidak ada tujuan lain selain kebersamaan untuk memajukan negeri. Tidak ada ada istilah primordial, semuanya menyatu dalam arus besar, negara. Itulah lagu padamu negeri.

Nasionalisme adalah pekerjaan bersama, tidak akan terwujud atau tidak akan ada gunanya jika nasionalisme dilakukan sendiri secara individu. Nasionalisme akan menjadi sebatas sampah omong kosong jika dipegang dan dilakukan satu-dua orang saja. Nasionalisme merupakan pikiran kolektif untuk kepentingan bangsa. Selama ini, kita memiliki banyak partai, banyak caleg, masing-masing memiliki visi mensejahterakan rakyat. 

Jika dipertanyakan tentang orang miskin, mereka semua akan menjawab bahwa kemiskinan harus diberantas. Jika memang benar kita memiliki nasionalisme, maka kenapa pemikiran kita masih sangat individu dan primordial. Kalau bukan saya atau golongan saya maka tidak saya dukung. Ini yang saya sebut nasionalisme semu. Seolah memiliki nasionalisme, tetapi sejatinya adalah kesombongan dan arogansi primordial.

Jumlah partai yang tidak rasional, bahkan kita pernah punya pemilu dengan format 48 partai. Secara tidak langsung, ini adalah sebuah cermin tercabik-cabiknya nasionalisme kita. Masing-masing merasa memiliki peran besar dalam membangun negara sehingga merekalah yang mestinya menjadi penguasa.

Pemenang

Istilah pemenang dalam pemilu, agaknya juga perlu ditinjau ulang. Pemilu sebagai sebuah hajatan besar bangsa dalam rangka menentukan para wakil rakyat maupun pemimpin nasional, tidak semestinya disejajarkan dengan ajang perang urat syaraf. Ini adalah upaya untuk menentukan yang terbaik, yang akan membawa visi rakyat memajukan bangsa dengan kemandirian. Bukan sebuah pertarungan kaum elite untuk berebut kuasa. 

Jika demokrasi masih dimaknai dengan pertarungan elite, maka saya katakan itu bukan demokrasi, tetapi kepalsuan demokrasi. Karena rakyat menjadi alasan kesekian, atau bahkan lebih parah, rakyat hanya dijadikan sebatas alat legitimasi politik kaum elite. Dalam bahasa lain ini adalah sebuah penghianatan politik.

Musuh Bersama

Dalam sebuah istilah klasik, untuk bisa bersatu kita harus memiliki musuh atau tantangan yang sama. Jadi kesatuan itu bisa dibangun dengan menyamakan persepsi tentang hal-hal apakah yang mendasari kita melakukan sesuatu dan tujuan-tujuan apa yang akan dicapai dalam melakukan sesuatu. Sehingga dalam langkah ke depan, diperoleh satu sinergi yang utuh, karena masing-masing komponen masyarakat merasa memiliki peran dan kontribusi yang penting dalam memajukan bangsa.

Jika dahulu barangkali musuh yang dihadapai adalah nyata, yaitu Penjajah Asing. Saat ini, setelah merdeka, kita seperti tidak memiliki musuh yang nyata lagi. 

Kemiskinan, kebodohan, ketimpangan penghasilan, ketidakmerataan pembangunan, rasa kesukuan, seolah bukan musuh yang mesti kita hadapi bersama. Itu semua hanya menjadi sampingan aksi setelah kepentingan masing-masing orang sudah terasa cukup terakomodir. Musuh, oleh kita sekarang dimaknai sama dengan saat bangsa kita dahulu mengangkat bambu runcing. Sehingga tidak ada semangat kita untuk bangkit. Kemerdekaan adalah final, selanjutnya, tampaknya kita tidak pernah terpikir dengan serius.

Syarif_Enha@Smg, 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun