Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Pesantren Tidak Boleh Kagetan

14 Juni 2020   06:34 Diperbarui: 14 Juni 2020   06:38 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Imam Ali mengajarkan enam syarat menuntut ilmu. Kecerdasan, kemauan atau rasa ingin tahu, kesabaran, biaya, petunjuk guru, dan waktu yang lama. Ini ajaran usang! Tapi tak pernah lekang!

Banyak program pembelajaran yang menjanjikan penguasaan keterampilan dalam waktu singkat. Itu bisa pahami, karena orang yang datang untuk belajar adalah orang yang memang membutuhkan segera keterampilan itu, dan nantinya akan langsung dan selalu digunakan sesuai kepentingannya. Keterampilan itu menjadi sangat operasional. Bentuk pembelajaran dengan cara kursus menjadi pilihan. Misalnya kursus komputer, kursur nyetir, kursus jahit, dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan pemahaman tentang ilmu pengetahuan? Bisa tidak dia dikejar dengan metode singkat? Saat ini banyak juga yang menawarkan kursus, atau bimbingan belajar. Namun sebenarnya bukan bimbingan belajar, namun bimbingan keterampilan mengerjakan soal. Ada iming-iming jaminan lulus masuk sekolah atau perguruan tinggi favorit. Tapi di sana tidak mempelajari ilmu, melainkan keterampilan  menjawab soal dengan cepat.

Celakanya, dalam beragama juga dijangkiti fenomena serupa, pesantren kilat. Ini agak aneh. Karena dalam agama tidak ada keterampilan yang perlu diajarkan. Agama menuntut pemahaman, kedalaman, dan pengalaman. Ini kok malah metode yang ditawarkan justru kursus pesantren kilat. Jelas yang diperoleh adalah semu. 

Pengalaman empirisnya semu. Dan capaiannya juga semu. Alih-alih mendapatkan semua itu, justru dihawatirkan para peserta mengalami gegar keberagamaan. Merasa memahami, mendalami dan memiliki pengalaman keagamaan, padahal semu. Mereka menjadi orang kerdil yang merasa besar. Orang jahil yang merasa pintar. Cukup berbahaya.

Bagi penulis, ilmu itu sepanjang hayat, sehingga tidak bisa dikuasai dalam waktu yang singkat. Dalam waktu singkat, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali omong kosong. Bagaimana mungkin ilmu Tuhan yang begitu luas, diselesaikan dalam satu dua minggu. Ini penipuan kelas dewa.

Penulis banyak mengenal orang yang memiliki pengalaman nyantri bertahun-tahun, tapi tidak jadi ustad maupun penceramah. Mereka orang biasa, namun penghayatan kehidupannya begitu matang. Sementara ada orang yang baru saja menelan satu dua buah buku dalam waktu singkat, sudah berubah menjadi seorang "ulama" besar dengan massa yang banyak. 

Pada akhirnya saya menyadari ada perbedaan mendasar antara orang yang belajar agama di pesantren dengan sementara orang yang kursus public sepeaking dan mengusung tema agama sebagai materinya. Itu seperti ahli obat dengan pedagang jamu.

Dalam pesantren, kajian satu kitab bisa berbulan bulan-bulan. Sementara dalam pendidikan moderen dituntut, hari ini sudah baca berapa buku. Hasil dari dua pola ini tentu berlainan. Bisa jadi, orang-orang modern mengetahui banyak sekali ilmu, tapi miskin pemahaman dan penghayatan. Sementara, ahli pesantren, menjadi sosok yang faqih tentang ilmu, sehingga senantiasa merasakan kebodohan.

Luaran sikap dari ahli pesantren jelas berbeda. Begitu mereka menghadapi fenomena, tidak ada gegap gempita. Tidak ada kekagetan. Tidak ada sumpah serapah. Karena fenomena apapun berada dalam putaran pemahaman pola hidup yang dipahami. Sementara coba lihat kelompok orang kagetan. Yang belajar dari warung ke warung. Dari topik satu ke topik lain. Begitu melihat fenomena mereka heboh. Bingung, dan akhirnya mengambil sikap dan langkah yang kurang tepat.

Pada akhirnya. Penulis ingin menyampaikan bahwa, metode pendidikan pesantren, dengan kajian sistematik yang meluas, lebih banyak menghasilkan lulusan yang siap dan tahan banting. Setiap point ilmu dijabarkan dalam syarah yang luas. Satu ayat diurai dalam beberapa pertemuan. Satu bab menjadi kajian satu semester. Sehingga menghasilkan pemahaman yang utuh.

Sementara, dunia modern menuntut percepatan. Satu semester harus menguasai banyak tema dan buku. Yang terjadi adalah keterampilan meringkas. Buku-buku yang sudah tidak seberapa tebal, masih diringkas sedemikian rupa. Makalah yang hanya beberapa lembar harus diringkas menjadi beberapa point. Beberapa point saja, harus dipilih mana yang paling penting. 

Pada akhirnya kita tidak memiliki ketahanan untuk belajar. Duduk sebentar, membuka beberapa lembar sudah lelah. Mendengarkan penjelasan agak panjang menjadi malas. Dan kita sering mendengar kata protes, "sudahlah, intinya apa yang akan anda sampaikan?!"

Dunia modern memiliki tuntutannya sendiri. Dan sebenarnya kita juga yang membentuknya. Dan pada akhirnya, sebenarnya kita tidak harus mengikuti semua tuntutan itu. Kecuali, kita mau menjadi tukang ledeng yang menjadi korban banjir karena lupa mematikan kran air yang kita pasang sendiri.

Syarif_Enha@Yogyakarta, 10 Pebruari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun