Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keindahan yang Substantif

1 Mei 2020   01:09 Diperbarui: 1 Mei 2020   01:14 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia ibarat botol. Botol dinilai dari isi yang ada di dalamnya. Semakin unik dan berharga isi botol, maka botol tersebut akan turut bernilai. Namun sejatinya tidak ada orang yang mencari botol. Bahkan tukang rongsok pun, mereka tidak mencari botol, namun mencari palstik atau bahan lain yang bisa mereka jual, hanya kadang saja ujud barang itu adalah botol. Masihkah kita akan membanggakan botol daripada isi. Akankah kita habiskan perhatian kita pada ragawi dan melupakan ruhani?

Renungan ini baik sekali selalu kita ingat. Tidak lain adalah agar kita tidak sesat pikir. Tidak keliru dalam menentukan prioritas hidup. Tidak menyesal ketika sampai ternyata bukan di tujuan yang benar.

Ilmu ini berhasil saya fahami pada umur yang sangat dini. Tidak lain adalah berkat ajaran dua orang tua saya. Ajaran substansialis saya peroleh dari sosok bapak yang keras. Bahwa bukan benda yang penting, namun fungsi. Bukan ujud yang penting tapi rasa. Bukan jumlah yang utama, melainkan ada. Bukan baru itu yang indah, namun nilai manfaatnya. Bukan pandangan orang, melainkan penilaian Tuhan. Bapak telah mengajarkan banyak, bahkan sangat banyak hal tentang substansi. Meski kadang pahit kurasa dalam dunia kekanakan saya, namun sekarang benar-benar kusadari kedahsyatannya.

Ibu saya mengajarkan sebaliknya. Bukan berarti beliau menentang setiap ajaran bapak. Namun, dari ibu lah saya belajar bahwa sesederhana apapun, dia mesti harus menunjukkan estetika. Meski ujud tidak harus baru, ia harus terlihat indah. Meski tidak banyak, harus dibuat cukup. Meski Tuhan Sang Juri utama, namun di mata manusia juga harus wajar. Ibu telah begitu lembut mengajarkan kepada saya bahwa hidup sederhana itu bukan berarti harus tampak memelas. Meski kadang kurasakan ada kesan tipu-tipu dalam perilaku, namun justru di situlah saya menemukan seni dan keindahan hidup bersama dengan begitu banyak orang. Ada usaha menjaga substansi yang murni dengan tidak menampakkannya kepada siapa saja.

Dua buah ajaran yang sekaligus saya telan habis hingga kini sudah dewasa. Dan saya telah praktekkan dalam mencoba bertahan hidup di tanah rantau. Substansi adalah yang utama, namun tetap harus estetik alias indah. Hidup boleh pas-pasan atau kekurangan, namun tidak boleh dirundung kesedihan. Apapun kenyataan pahit yang dihadapi, hidup mesti gembira. Karena tentu saja, substansi hidup tidak akan terpengaruh oleh arah angin dan kemudian panas dingin. Substansi itu tetap, murni. Tidak jarang saya merasa aneh ketika harus berhadapan dengan banyak kenyataan yang justru bersebrangan dengan cara hidup saya yang demikian. Heran sering menggelayut di benak. Kenapa ada orang sedih karena tidak bisa membeli baju baru, sementara ada baju lain yang masih baik untuk dikenakan. Mengapa orang sibuk dan sangat serius mempersiapkan segala macam citra apa yang akan ditampilkan, sampai kadang lupa tentang substansi apa yang akan diberikan.

Ah, baiklah. Ini sudah hampir sampai pada akhir tulisan. Bukan maksud saya untuk sok suci jadi manusia. Hanya ingin berbagi. Jika kita sepakat bahwa hidup itu disebut sandiwara, sebatas mampir ngombe, sekedar bekerja untuk kelak menjadi bekal hidup abadi di akherat, maka pertanyaan yang harus dijawab kita bersama, apakah iya, kita hanya hidup menjadi tukang cat? Poles sana-sini agar tampak indah sedangkan kita mengabaikan bangunan yang rapuh.

Ayolah, musuh kita sekarang bukan saja penjajah yang akan menguasai tanah dan sumber daya alam kita. Musuh kita yang lebih biadab adalah penjajah pikiran yang menjadikan kita puas dalam kepura-puraan. Penjajah yang menjejali pikiran kita bahwa hidup harus penuh dengan fasilitas yang mewah agar bahagia. Penjajah pikiran yang merusak nalar sehat menjadi cacat, sehingga tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan mana pelampiasan nafsu semata. Jika kita tidak bisa menemukan ketenangan dan bahagia dari dalam diri kita, maka kita akan terjebak untuk menggantungkan kebahagiaan kita pada hal-hal palsu di luar sana. [Syarif_Enha@2015]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun