Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Tanda

30 April 2020   23:28 Diperbarui: 1 Mei 2020   00:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang bisa dibaca oleh generasi mendatang jika tak ada jejak yang bisa terlacak. Akan bertahan berapa lamakah kenangan yang dipertahankan hanya dengan sebatas kisah-kisah yang diingat. 

Monumen dan dokumen menjadi jajak yang memungkinkan semua catatan sejarah dapat ditelusuri ulang. Namun, itu hanya jejak, sejarah itu sendiri tidak mungkin terjadi berulang.

Ada diskusi kecil tentang kampus atau sekolah favorit atau unggulan. Banyak yang keblinger dan rela merogoh kocek begitu dalam hanya agar anaknya bisa diterima di sekolah atau kampus unggulan. 

Padahal, tahukah mereka apa yang menjadi ukuran keunggulan itu? Kualitas suatu institusi saat ini ternyata lebih banyak diukur berdasarkan kelengkapan administrasi.

 Pendekatan ini bersifat kuantitatif. Ketika semua terpenuhi dengan catatan "ada", maka kualitas suatu institusi bisa dikatakan unggul. Namun, jika administrasi masih kurang lengkap, maka catatan buruk dan unqualified disandangkan pada institusi tersebut.

Model ini jika dipandang jauh dalam tataran teori, maka tampak adanya keilmuan eksak yang mendominasi alam pikir hampir semua pemegang kebijakan. Semua prestasi dan apresiasi diukur semata dengan banyaknya lembar berkas, lengkapnya semua fasilitas dan terpenuhinya semua agenda. Padahal, jelas yang diukur itu adalah kualitas. 

Kenapa ukurannya adalah kuantitas? Namun, untuk bisa menentukan nilai dari sesuatu memanglah harus ada ukurannya. Catatannya, ukuran itu harus bisa diukur, sehingga pendekatan kuantitatif menjadi pilihan.

Dalam konteks yang lain, keluarga yang paling bahagia bukan diukur dari jumlah, baik jumlah anaknya, jumlah rumahnya, jumlah mobilnya, jumlah penghasilannya, melainkan diukur dari rasa batin para penghuninya. 

Ukuran jumlah itu hanya pertanda yang digunakan sebagai alat baca orang dari luar, bukan bagian yang turut merasakan. Dalam rumah yang mewah dapat saja kita dengar suara tangis kesedihan, dan sebaliknya tidak jarang suara tawa kebahagiaan bergema di hunian sederhana. Segala yang tampak itu bisa dijadikan ukuran, namun tidak pernah mampu menampilkan substansi yang terdalam.

Pada kalangan santri, karisma seorang kiai sangat bisa dirasakan hanya dengan tatapan tajamnya, dari kalimat-kalimat yang keluar dari kedua bibirnya, bahkan suasanya pesantren seolah terterangi karomah dari karisma sang kiai begitu beliau hadir. 

Tidak perlu sorban panjang, tidak perlu gamis megah, apalagi hanya persoalan kendaraan yang dinaiki. Namun, itu semua hanya bisa ditangkap oleh para santri, dan mungkin tidak semua santri bisa merasakannya. 

Pertanyaannya kemudian, apakah kualitas atau karisma seseorang itu bergantung pada penilaian? Ataukah ia secara objektif ada pada dirinya sendiri yang sudah mengandung kualitas tersebut, terlepas dari semua penilaian luar? Kiranya, meski dalam comberan jika itu emas maka tetaplah dia berharga. Dan nyatalah bahwa nilai itu melekat pada substansi, bukan pada persepsi. Emas tidak akan menjadi tembaga hanya disangka ia adalah tembaga.

Bagi seorang para arkeolog, membangun kisah sejarah kuno bisa dilakukan dengan penggalian dan penemuan peninggalan-peninggalan masa lalu. Ada tulisan, ada batu bahkan tengkorak. 

Semua adalah tanda jejak yang memungkinkan bagi ilmu untuk mengenali dan membangun bayang-bayang tentang masa silam. Tentang kebiasaan berkomunikasi, budaya pemenuhan kebutuhan konsumsinya, sampai pada kepercayaannya. 

Semua terbaca begitu ada tanda-tanda yang bisa dirajut menjadi sebuah kisah. Namun, apakah kebenaran yang dihasilkannya adalah kebenaran yang sebenarnya? Tidak, itu hanya kebenaran yang diakui, berdasarkan narasi tanda-tanda jejak di masa silam.

Pada akhirnya, saya ingin menarik sebuah kesimpulan, bahwa kualitas segala sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri terlepas dari ukuran-ukuran yang dibangun oleh manusia di luar. 

Ukuran-ukuran itu harus dimaknai upaya manusia untuk memberikan tanda, agar mudah dikenali. Namun perlu saya ingatkan lagi, tanda itu tetaplah hanya tanda, bukan substansi.

Jadi, jika kita menilai hanya berhenti pada tanda-tanda saja, maka saya yakin kita akan gagal paham atas kenyataan. Jika capaian masa lalu hanya dilihat dari jumlah artefak dan monument peninggalannya saja, jika kecendiakawanan hanya diukur dari ijazahnya saja, jika keluarga bahagia itu ukurannya hanya rumah mewah dan jumlah kendaraan, jika   keimanan hanya dilihat dari pakaian dan penampilannya saja, itulah tanda bahwa kita baru sampai pada peradaban yang paling dangkal. [Syarif_Enha@Nitikan, 2015]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun