Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puasanya Surti; Terkikis Prasangka

11 Juni 2016   22:10 Diperbarui: 11 Juni 2016   22:16 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari baru saja terbenam. Tanda waktu buka puasa tiba. Surti bersemayam dalam berkah. Namun, ada saja yang mengganjal di hatinya. Sehabis buka puasa sore ini, Surti bertutur tentang kegundahannya. Ada yang mengusik relung hatinya, mengusik perasaannya. Bukan pikirannya.

“Kenapa kamu agak termenung Bu?” tanya Tono suaminya.

“Ya Mas, aku hanya bingung dengan orang-orang sekarang. Di bulan puasa, masih banyak orang hidup dalam prasangka. Kepedulian makin menipis, tapi prasangka makin menebal. Entah apa yang salah?” tutur Surti prihatin.

“Lho, emangnya kenapa?” tanya Tono lagi.

Surti mulai berkisah. Tentang uneg-unegnya. Tentang perasaannya.

“Beberapa waktu lalu, saat sebelum puasa. Aku melihat sendiri di tempat makan. Ada beberapa wanita karir yang sedang asyik ngobrol satu sama lain. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyodorkan amplop sumbangan untuk anak yatim. Lalu, salah satu dari wanita tersebut mengibaskan tangannya. Sambil tidak menoleh. Tanda mereka tidak bersedia memberikan bantuan. Menolak untuk memberi sedekah.”

“Tapi sayangnya, setelah laki-laki itu pergi, para wanita karier ini membicarakan tentang maraknya penipuan dengan modus meminta sedekah. Termasuk untuk anak yatim” jelas Surti lagi.

“Lalu, apa yang salah dengan para wanita karier itu, Bu?” Tono penasaran.

“Memang mereka tidak salah. Jika kita tidak mau bersedekah, tentu tidak masalah. Tapi di saat itu pula, kenapa kita harus berprasangka terhadap laki-laki itu? Gak ngasih tapi ngomongin. Prasangka buruk. Nurani kita telah hilang. Terkikis habis oleh kehidupan zaman. Kita menjadi mudah untuk berprasangka. Tanpa mau membangkitkan kepedulian terhadap sesama” ujar Surti.

“Ya, mungkin zamannya sudah begitu Bu. Atau mungkin mereka punya pengalaman buruk sebelumnya” tukas Tono.

“Karena itu Mas. Inilah waktunya kita merenung. Melihat diri kita dalam keheningan. Dalam kesendirian. Apakah nurani kita sudah terkikis habis oleh prasangka? Atau hati nurani kiita telah mati karena tuntutan zaman. Hidup kita makin individualis. Sibuk dengan diri sendiri, mengejar target, memburu ambisi. Hidup hanya diukur dari kesuksesan pribadi. Hari ini dan esok, akankah kita tidak punya ruang lagi untuk membantu orang lain. Untuk mau berempati tanpa perlu berprasangka” papar Surti sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun