Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Mengajar, Bukan Menghajar?

19 Desember 2016   09:28 Diperbarui: 19 Desember 2016   09:49 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bikin judul kayak di atas, Si Kuple tergelitik sendiri. Kenapa MENGAJAR, bukan MENGHAJAR? Silakan ditafsirkan sendiri saja. Secara bahasa, beda kata itu sangat lugas. Buatnya, mengajar itu kebaikan, kelembutan. Beda dengan menghajar, yang basisnya ketidaksenangan, kekerasan.

Ngajar atau mengajar itu juga gak harus guru, gak harus dosen. Semua orang bisa mengajar. Asal niatnya untuk menjadikan peradaban lebih baik. Siapapun dia, pasti bisa mengajar untuk orang-orang di dekatnya. Tentu, sesuai kebisaan. Atau kalo kata orang pintar, sesuai disiplin ilmunya.

Semua orang sepakat, semua orang sadar. Ngajar atau mengajar itu investasi amal yang paling ciamikk. Betapa hebatnya para guru ngaji di rumah-rumah, di mushola atau di masjid. Setiap ba’da Maghrib, ia mengajar baca Al Qur’an puluhan anak-anak SD. Dan kini, anak-anak itu sudah pandai mengaji, bahkan ber-akhlak baik. Gak kebayang, berapa banyak panenan pahala si guru ngaji yang mengalir dari setiap 1 huruf yang terlantun pada anak-anak muridnya. Sungguh pahala, dan kebaikan yang luar biasa.

Karena dalam mengajar, kita tidak sedang berbagi kepusingan dan bukan menjelaskan kerumitan. Tapi mengajar, kita sedang menebar kemudahan.

“Terus kenapa harus mengajar?” pikir Si Kuple.

Gak usah muluk-muluk. Karena mengajar itu perbuatan menyenangkan, perbuatan untuk memampukan. Kalo banyak orang menganggap mengajar juga belajar sebagai perbuatan mengolah akal, perbuatan untuk menjadikan orang pintar, tentu gak salah. Tapi hari ini, mengajar dan belajar harus menyenangkan, harus memampukan yang diajar dan yang mengajar. Mengajar, atau belajar itu seni. Sehingga kita bisa menikmati proses mengajar dan belajar itu sendiri.

Lalu, mengapa kita harus kepusingan dengan materi yang harus diajarkan?

Gak sepatutnya terjadi. Kalo mau ngajar ya harus kuasai materinya, gak boleh gak. Kalo mau ngajar ya harus senangkan orang-orang yang belajar. Agar mengajar gak berubah jadi menghajar.

Kita tahu, menghajar itu perilaku kekerasan, perilaku ketidaksenangan. Semua itu terjadi karena belajar dan mengajar dijadikan beban. Dijadikan perbuatan yang tidak menyenangkan, tidak memampukan satu sama lainnya. Maka wajar, ujung-ujungnya para pembelajar jadi doyan terhadap kebencian, permusuhan, hasutan bahkan keluhan. Semua yang ada hari ini, semua yang terjadi hari ini dianggap beban. Sungguh, keadaan yang kontraproduktif dengan semangat mengajar atau belajar.

Mengajar atau belajar itu sama saja. Mengajar bukan untuk puas karena anak-anaknya pintar. Bukan untuk meraih nilai yang bagus. Tapi mengajar dan belajar itu untuk “mempertahankan semangat berprestasi, semangat kebaikan pada setiap diri”. Itu saja sudah cukup.

Banyak orang lupa. Salah satu misi besar mengajar atau belajar itu untuk “mendekatkan KENYATAAN (Das Sein) dan HARAPAN (Das Sollen); menjadikan kenyataan sesuai dengan harapan”. Tapi ketika kedaaan itu terjadi, maka sikap realistis yang dijunjung tinggi. Bukan malah mencaci maki, menghujat, menebar kebencian dan sejenisnya. Karena semua kita tahu, bahwa tidak selalu harapan dan kenyataan sama persis. Itulah hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun