Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mampukah Taman Bacaan Bertahan di Era Digital?

23 Juni 2021   06:33 Diperbarui: 24 Juni 2021   01:07 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Geberbura TBM Lentera Pustaka

Mampukah taman bacaan bertahan di era digital?

Pertanyaan yang sulit lagi tidak bisa buru-buru dijawab. Sementara semua sisi kehidupan tidak lagi bisa dipisahkan dari dunia digital. Taman bacaan masih bertahan dengan cara membaca buku manual. Kenapa sih tidak membaca e-book? Kenapa harus taman bacaan? Repot banget harus membimbing anak-anak membaca buku? Tentu, masih banyak sederet pertanyaan yang "melemahkan" eksistensi taman bacaan.

Gempuran era digital, realitasnya memang sulit dibantah. Tidak mungkin ditolak. Karena digitalisasi sudah jadi kebutuhan, bahkan gaya hidup banyak orang. Hidup tanpa digital seakan hampa. Digital pula yang menjadikan orang lebih instan, menuntut kebebasan, dan senang mengekspresikan diri. Bahkan era digital pula anak-anak jadi punya banyak sumber belajar. Tidak lagi terbatas buku. Lalu, kenapa masih ada taman bacaan di era digital?

Era digital, mau tidak mau, kian meminggirkan eksistensi taman bacaan. Perilaku membaca buku secara manual pun kini tidak populer. Sehingga buku-buku manual yang ada di taman bacaan, di perpustakaan pun ingin segera diganti e-book. Maka taman bacaan pun kian jadi "jalan sunyi" di tengah keramaian era digital?

Sementara semuanya serba online. Taman bacaan masih saja berhadapan dengan persoalan klasik. Masalah taman bacaan yang belum beranjak pulih. Satu, ada anak tidak ada buku. Dua, ada buku tidak ada anak. Dan ketiga, komitmen dan konsistensi pengelola taman bacaan yang setengah hati. Jadi, mampukah taman bacaan bertahan di era digital?

Benar sekali. Terlalu banyak tantangan dan ujian di taman bacaan. Maka pantas banyak pegiat literasi yang gampang frustrasi. Serba salah mengembangkan taman bacaannya. Tidak sedikit taman bacaan yang "mati suri". Dibilang ada tapi tidak ada. Dibilang tidak ada tapi ada. Lalu, bagaimana taman bacaan mau "mengharmonisasikan" dengan dunia digital? Perjuangan untuk bisa bertahan dan tetap eksis saja tidak kunjung usai.

Maka isu penting taman bacaan di era digital adalah bukan soal mendirikan taman bacaan. Bukan pula soal buku atau anak. Tapi soal kemampuan bertahan di tengah era digital. Agar tahu, apa saja yang harus diperjuangkan taman bacaan. Apa saja yang harus diabaikan di taman bacaan?

Ini kisah nyata di taman bacaan. Saat tahun 2017, saya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Awalnya, hanya ada 14 anak yang mau membaca di taman bacaan. Koleksinya pun hanya 600 buku donasi dari kawan-kawan. Setelah berjalan 3-6 bulan pun saya terus berpikir. Lalu bertanya, apa iya daerah ini (Desa Sukaluyu), anak-anaknya mau diajak membaca seminggu 3 kali? Maklum, sebelumnya mereka tidak punya akses bacaan. Anak-anak kampung yang tidak punya kebiasaan membaca buku.

Sebagai pegelola bingung, taman bacaan pun bingung. Mau bagaimana ke depannya taman bacaan ini? Sepi dan garing. Dugaan saya kian tepat, berkiprah di taman bacaan itu memang "jalan sunyi". Jarang dipedulikan orang, tidak ada uangnya. Dan membaca buku itu memang dihindari banyak orang. Wajar, bila taman bacaan jadi serba salah. Pengelolanya pun frustrasi. Apalagi sifatnya sosial. Sangat paripurna, tantangan yang ada di taman bacaan. Apalagi digempur perangkat yang serba digital. 

Tapi apa pun yang terjadi, apapun keadaaanya. Saya tetap bertekad untuk "menghidupkan" taman bacaan. Tentu, butuh kreativitas dan cara yang menarik. Saya pun tetap datang seminggu sekali dari Jakarta ke Kaki Gunung Salak Bogor. Hanya untuk menemani dan memotivasi anak-anak kampung yang membaca. Berapapun jumlah anaknya? Saya urus apa yang harus saya urus di taman bacaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun