Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Mohon Maaf Lahir Batin Hanya di Linimasa dan di Bibir Saja

13 Mei 2021   17:16 Diperbarui: 13 Mei 2021   17:24 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seusai sholat Id, seorang anak bertanya kepada ayahnya, "apa sih hikmah Idul Fitri?"

Agak susah menjawabnya. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Idul Fitri 1442 H kali ini jelas berbeda. Mudik dilarang, sholat Id pun disuruh di rumah. Halalbihal dan silaturahim pun diimbau tidak dilakukan. Karena berpotensi menimbulkan kerumunan. Khawatir terpapar Covid-19. Idul Fitri hanya #DiRumahAja, jadi apa hikmahnya?

Bisa jadi, hikmah terbesar Idul Fitri kali ini adalah ujian terhadap keikhlasan dan kesabaran sesorang. Di tengah kekhawatiran penularan Covid-19, berbagai tradisi lebaran terpaksa ditiadakan. Setelah sebulan berpuasa, kemenangan nan fitrah pun penuh keterbatasan. Maka sejatinya, hikmah Idul Fitri 1442 H terpenting tidak lain soal 1) keikhlasan dan 2) kesabaran. Agar ucapan mohon maaf lahir batin, bukan hanya di linimasa dan di bibir saja.

Ikhlas berarti bersih hati atau tulus hati. Melakukan sesuatu tanpa mengharapkan sesuatu, selain untuk menggapai ridho Allah SWT. Sabar berarti mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum agama. Sabar dalam keadaan lapang maupun sempit, sekaligus mampu menahan diri dari hawa nafsu yang menggoyahkan iman seseorang. Ikhlas dan sabar itulah kata kunci dalam beramal dan beribadah, termasuk dalam menghadapi ujian pandemi Covid-19.

Kemarin-kemarin, berpuasa sebulan penuh. Tadarusan bahkan tarawih setuap malam. Berbagi takjil dan santunan kepada kaum dhuafa. Hingga hari ini pun menebar ucapan "Selamat Idul Fitri" dan permohonan maaf lahir batin. Di berbagai linimasa media sosial, di berbagai grup WA. Pertanyaannya, apakah itu semua sudah dilakukan dengan ikhlas dan sabar? Perbuatan yang dikerjakan bukan karena ingin dipuji orang. Bukan pula karena gengsi atau hanya kebiasaan semata. Hanya sifat ikhlas dan sabar yang bisa menjawabnya.

Ikhlas dan sabar memang tidak mudah. Mohon maaf lahir batin yang dari hari hati. Buka yang di linimasa atau di bibir saja. Apalagi harus menyembunyikan segala perbuatan baik dan ibadah hanya karena Allah SWT. Bukan karena ingin dipuji orang lain. Bukan karena biar dibilang begini-begitu oleh orang lain. Sungguh, ikhlas dan sabar memang tepat menjadi tingkatan maqamat setiap insan yang beriman.

Ikhlas dan sabar. Adalah tonggak dan hikmah terpenting Idul Fitri kali ini. Kedua sifat itulah yang menjadikan "kawah candradimuka" untuk menjadi manusia yang tulus dalam melakukan perbuatan baik apapun. Modal penting untuk selalu bersyukur dalam segala keadaan dan ujian. Bahkan ikhlas dan sabar, bisa jadi sumber kekuatan yang tidak tertandingi bila melekat pada diri seseorang.

Ikhlas dan sabar pula, sejatinya dapat mendorong siapapun untuk bergerak melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tanpa terpengaruh pandangan dan perkataan orang lain. Bagaikan beningnya air di dalam sebuah gelas, tanpa campuran apapun dan rela untuk diteguk oleh siapapun. Itulah ikhlas dan sabar yang hakiki. 

Maka ujung dari hikmah Idul Fitri yang dijalankan dengan ikhlas dan sabar. Siapapun berhak meraih "fitrah", kesucian jiwa dan raga. Hidup yang Kembali ke "titik nol", seperti  bayi yang dilahirkan. Dibebaskan (bukan terbebas) dari dosa dan salah, baik dalam hubungan dengan Allah SWT maupun sesama manusia.

Kembali ke titik nol. Agar kita sadar di hari esok. Mau diisi dengan sikap dan perilaku yang positif (+) atau negatif (-). Untuk menjadi manusia yang lebih baik, sebagai insan yang bertakwa, lebih baik, dan lebih optimis jadilah plus (+). Tapi sebaliknya, bila puasa dan Idul Fitri sebatas ritual semata, lalu tidak "berbekas" dalam kehidupan. Tidak menjadi lebih takwa, tidak lebih baik bahkan malah pesimis. maka jadilah minus (-).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun