Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaum Matik, Ingin Besar Lupakan Hal Kecil

9 April 2021   18:31 Diperbarui: 9 April 2021   18:39 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Zaman now sering dibilang zaman matik. Semuanya serba matik.

Motor matik, mobil matik. Pengukur suhu tubuh matik, bahkan ada juga cewek matik. Survei membuktikan, 80% cewek zaman now pun lebih suka pakai barang yang matik. Karena lebih instan, lebih cepat.

Matik, bolehlah diartikan otomatis. Bisa bergerak dengan sendirinya. Tanpa digenjot, tanpa diputar sudah bisa sendiri. Beda dengan yang manual. Tidak bisa bergerak bila tidak digerakkan. Maka wajar, banyak orang lebih memilih yang matik. Daripada yang manual. Konon katanya, matik lebih keren daripada manual. Apa iya?

Sejatinya, matik itu hanya simbol. Simbol sebuah era. Saat banyak orang ingin semuanya serba instan. Kalau perlu, tidak usah menanam pohonnya. Langsung buahnya saja. Tidak perlu kerja, uangnya saja. Itulah prinsip matik. Sebuat saja, orang-orang yang tidak mau repot. Maunya, tinggal starter langsung ngacir. Matik banget.

Matik sudah jadi gaya hidup. Bahkan orientasi hidup. Semua hal dipandang mudah. Kalau bisa cepat, kenapa harus lambat? Kalau bisa nyogok, kenapa harus ikut prosedur? Akhirnya jadi gerabak-gerubuk. Hantam kromo. Main gadget tiap hari tapi menganggap palng sibuk sedunia. Kata orang-orang matik. Tidak usah belajar asal dapat ijazah. Tidak usah kuliah yang penting wisuda. Tidak usah kerja yang penting dapat duit. Enak banget, hidup kaum matik ya.

Berbeda dengan pegiat literasi di taman bacaan. Membaca buku saja masih manual. Buka tutup taman bacaan hanya untuk melayani anak-anak yang membaca. Isi kartu baca, kartu pinjam buku, dan antre bawa buku. Semuanya manual di taman bacaan. Maka taman bacaan, pasti tidak cocok untuk kaum matik. Terlalu tradisional. "Bisa gak sih langsung pintar tanpa baca buku" begitu kata kaum matik.

Cara pikir matik, perilaku pun matik. Jadi salah jalan. 

Dikasih teknologi media sosial, malah dipakai untuk menghujat, mencaci dan berkata-kata kotor. Dikasih pengetahuan agama malah dipakai untuk "menyalahkan" orang lain. Dikasih hidup nyaman malah dipakai untuk "mengecilkan" orang lain. Begitulah sifat matik. 

 Matik itu belum tentu baik. Karena matik sering bikin manusia jadi berpikir dangkal. Tidak produktif bahkan melupakan cara-cara yang benar dan etik. Sifat matik pula yang mampu menghilangan manusia dari rasa peka dan cinta. Makin tidak peduli, makin tidak punya empati. Karena berjiwa matik.

Kaum matik, bisa jadi "gagal" merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ingin baik tapi tidak melakukan apapun. Kaum matik lupa. Kesalehan itu bukan hanya ritual. Tapi juga butuh kesalehan sosial dan kesalehan emosional.

Matik sangat salah. Bila ingin besar tapi lupa hal-hal kecil. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun