Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir Ya, Asal Jangan Benci Hujan

20 Februari 2021   07:38 Diperbarui: 20 Februari 2021   09:16 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiap kali hujan deras dan cukup lama, banjir terjadi di mana-mana. Sudah biasa, begitu musim hujan maka banjir pun tiba. Apalagi di kota besar seperti Jakarta. Kota yang aman dan nyaman bagi air melimpah seperti banjir.  Seperti melimpahnya kesehatan, kesuksesan, dan keberkahan kepada manusia.

Kenapa banjir? Itu tidak penting dibahas.

Banjir itu hanya akibat. Sebabnya adalah hujan. Dan faktanya, jutaan orang pun merindu hujan. Jutaan manusia, nyatanya lebih suka hujan daripada kemarau. Maka hujan pun selalu turun tanpa peduli omongan orang. Sekalipun jutaan manusia mencacinya, menghujatnya. "Sialan hujan, kenapa tidak berhenti?" Begitu kata sebagian orang yang membenci hujan atau banjir.

Di mana pun, hujan tetap akan turun. Karena hujan tahu selalu ada orang yang mengingatkan kehadirannya. Entah, karena cinta atau benci. Atau karena bosan dengan musim kemarau berkepanjangan. Karena setelah hujan, siapapun bisa melihat pelangi indah sesudahnya. Keindahan anugerah sang pencipta.

Memang, terlalu banyak hujan itu tidak baik. Banjir terus menerus pun menjadi luka. Tapi patut direnungkan, kenapa manusia terus membenci dan mencaci? Melulu mengeluh dan pesimis dalam hidupnya? Untuk apa menangis bila yang ditangisi adalah realitas?

Banjir, terimalah. Asal jangan membenvi hujan. Tidak pegi menghakimi hujan. Apalagi manusia. Untuk apa membenci terus menerus. Bila banjir bisa jadi alat untuk memperbaiki diri.

Banjir bukan hukuman. Tapi untuk mengingatkan hukum "duduk sama rendah berdiri sama tinggi". Karena banjir tidak mengenal tempat. Istana presiden banjir, kantor gubernur banjir, apalagi rumah penduduk. Banjir tidak kenalpangkat, jabatan, harta dan status sosial. Banjir bisa menggenangi tempat tinggal dan pemukiman siapapun. Persis seperti manusia, sama rendah sama tinggi di hadapan Ilahi Rabbi.

Sekalipun banjir. Jangan membenci hujan. Karena banjir, manusia diajarkan untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku. Di manapun, kapanpun. Atau atas sebab apapun. Dan yang terpenting. Banjir bisa jafi sinyal. Agar manusia lebih rajin lagi "instrospeksi" bukan "memgorekai". Agat mau memperbaiki diri dan menerima realitas. Termasuk apa artinya sebuah tong sampah ... #FilosofiBanjir #LiterasiBanjir

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun