Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masalah Pendanaan Pesangon Pekerja

16 Desember 2020   23:15 Diperbarui: 17 Desember 2020   00:04 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aturan pesangon untuk pekerja atau buruh sesungguhnya bukan hal yang baru. UU Cipta Kerja pun hanya merevisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalihnya, karena aturan dan besaran pesangon yang lama dianggap memberatkan pengusaha sehingga investor tidak mau investasi di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan.

Tentu, alasan yang dapat diterima walau tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya, saat besaran pesangon diatur 32,2 kali upah (UU Ketenagakerjaan) pun implementasinya hanya 7% perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan yang berlaku.

Itu berarti, banyak perusahaan yang abai terhadap ketentuan atau regulasi. Atas dasar itulah , pekerja seringkali bereaksi atau demonstrasi soal pesangon.

Pada naskah sosialisasi UU Cipta Kerja yang beredar versi Kemenaker dan DPR RI tercantum paling atas kalimat "Pemerintah memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh".

Itu berarti, pemerintah berkomitmen untuk memastikan pembayaran pesangon kepada pekerja betul-betul sesuai aturan. Perusahaan tidak boleh abai terhadap pesangon yang menjadi hal pekerja saat melakukan PHK. Maka selain penegakan hukum kepada perusahaan yang ketat, pemerintah seharusnya mewajibkan "pendanaan pesangon" benar-benar dilakukan perusahaan.

Agar saat terjadi PHK, uang pesangon benar-benar tersedia. Karena nyatanya, selama ini masalah pesangon adalah soal ketersediaan dana. Untuk itu, PP yang akan disusun semestinya mengatur tentang pendanaan pesangon yang dilakukan perusahaan. Di mana didanakan dan bagaimana melaporkannya?

Harus dipahami, pesangon adalah kewajiban perusahaan yang telah mempekerjakan pekerja. Maka saat PHK terjadi atau pensiun, uang pesangon pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan. Terlepas dari besaran pesangon yang akan diatur dalam PP, perusahaan atau pemberi kerja harus memiliki kesadaran untuk "mendanakan" uang pesangon.

Akan lebih baik bila didanakan secara terpisah dari sistem keuangan perusahaan, bukan hanya "dibukukan". Tapi saat uang pesangon harus dibayarkan, justru dananya tidak tersedia.

Oleh karena itu, lagi-lagi dengan UU Cipta Kerja ini, pemerintah harus fokus pada upaya implementasi pendanaan dan pembayaran pesangon. Apakah setiap perusahaan atau pemberi kerja sudah benar-benar mendanakan? Karena bila tidak, pesangon akan tetap jadi momok bagi pekerja dan selalu jadi masalah yang tidak kunjung selesai.

Soal pesangon, masalahnya adalah 1) tidak tersedianya dana pemberi kerja saat harus dibayarkan kepada pekerja dan 2) kesadaran pemberi kerja yang masih minim untuk mendanakan pesangon, termasuk program pensiun. Maka solusinya, pendanaan pesangon harus dilakukan pemberi kerja sesuai amanat UU Cipta Kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun