Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi Nongkrong

1 Desember 2020   07:28 Diperbarui: 1 Desember 2020   07:32 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nongkrong, tentu boleh-boleh saja. Siapapun boleh nongkrong. Yang tidak boleh dari nongkrong itu bila dipakai untuk ngomongin orang. Atau nongkrong yang tidak ada gunanya. Buang-buang uang tapi tidak produktif. Nongkrog yang isinya kejelekan dan ksia-siaan.

Sekitar 8 tahun lalu, saya pun pernah nongkrong. Hingga ke Shanghai di negeri Cina. Saat itulah saya mengenal tempat-tempat indah, seperti: Shanghai Pearl Tower, The Bund, Yu Garden, Huaihai Road, dan Nanjing Road yang spektakuler di malam hari. Bahkan kali pertama, saya naik kereta yang super cepat, 250km per jam pun di sini.  Dari Shanghai ke kota Hangzhou yang indah.

Jadi, nongkrong itu sangat boleh. Bila diisi dengan hal yang positif dan baik. Nongkrong yang bisa nambah pengetahuan. Nongkrong yang mencerahkan pikiran dan sikap untuk bertindak lebih positif. Nongkrong juga bagian dari literasi, asal menambah pemahaman dan kesadaran. Persis seperti nongkrong di taman bacaan. 

Siapapun, saat nongkrong "dilarang" bawa-bawa status. Apalagi kasta, pangkat dan jabatan. Karena saat nongkrong, semua sama saja. Setara dan tidak ada beda. Seperti di hadapan Allah SWT, semua sama saja. Tidak ada miskin tidak ada kaya. Yang ada, seberapa patuh kepada Allah SWT dan seberapa besar amal kebaikan yang diperbuatnya.

Maka aneh. Bila ada orang nongkrong justri ngomel-ngomel. Negara diomelin, bangsanya sendiri dijelek-jelekin. Bila ada yang kurang, kenapa tidak aksi nyata untuk memperbaiki? Nongkrong itu bukan untuk membenci, menghujat apalagi mencaci. Apalagi di musim Covid-19 gini. Nongkrong hingga berkerumun itu tidak boleh. Apalagi tidak sesuai protokol kesehatan. Nongkrong itu tidak boleh egois. "Merasa benar sendirian, sementara orang lain salah".

Menurut saya, nongkrong itu filosofinya membangun empati, menebar toleransi. Selalu menghargai orang lain, apapun kondisinya. Agar melatih mindset tentang cara menjalin hubungan baik, menjaga keharmonian. Seperti orang dagang, jual beli itu terjadi bila ada harmoni, ada sikap saling menghargai.

Lalu untuk apa? Bila nongkrong hanya untuk pamer diri. Apalagi hura-hura, buang-buang waktu sambl ngomongin yang tidak jelas. Bak selebriti. Jangan nongkrong bila tidka ada guna. Karena nongkrong adalah media literasi.

Nongkrong juga, bisa jadi, ujian terhadap kesalehan sosial seseorang. Agar tidak berpikir. Bahwa "saya lebih suci dari orang lain". Dan yang paling penting, nongkrong itu bukan tergantung pada penampilan, pakaian atau aksesori dandanan. Nongkrong, hanya butuh otak dan akal sehat. Agar lebih berkualitas, lebih meslahat. Itulah literasi nongkrong. Salam literasi ... #LiterasiNongkrong #BudayaLiterasi #TamanBacaan

Sumber: Pribadi
Sumber: Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun