Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dana Operasional Taman Bacaan di Indonesia; 82% Swadaya 18% Donatur, Pemerintah Nol

28 Maret 2020   17:48 Diperbarui: 28 Maret 2020   17:58 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber" Survei TBM Lentera Pustaka

Mengenaskan kondisi taman bacaan di Indonesia. Mengapa?

Sekalipun gerakan literasi nasional (GLN) menjadi program pemerintah, namun faktanya dana operasional taman bacaan 82% berasal dari swadaya pendiri/pengelola taman bacaan, 18% dari donator, dan andil pemerintah nol.

Maka wajar, banyak taman bacaan di Indonesia yang seakan "mati suri". Sulit berkembang karena tidak adanya dukungan biaya atau anggaran dari pihak eksternal. 

Minimnya dana operasional untuk menjalankan aktivitas taman bacaan, harus diakui menjadi kendala besar. Karena tanpa dana, maka sulit taman bacaan untuk dikelola dengan baik. Bahkan anggaran untuk membeli buku pun tidak ada.

Apalagi sekadar "uang kopi" bagi pegiat literasi yang membimbing aktivitas membaca anak-anak di taman bacaan. Berangkat dari realitas itulah, pihak pemerintah daerah atau donatur perlu ikut peduli terhadap "kebertahanan" eksistensi taman bacaan di Indonesia.

Itulah simpulan Survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia yang dilakukan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka pada tahun 2019 lalu. Survei ini diikuti oleh 54 pegiat literasi dari 33 lokasi di Indonesia, seperti dari Bogor -- Sukoharjo- Banyuwangi- Sumba Tengah -- Jambi -- Purwokerto - Nias Selatan - Buru Selatan - Sorong Selatan - Kab. Gowa -- Asahan - Padang Panjang -- Rappang -- Cirebon - Seram - Mamuju Tengah - Tapanuli Utara -- Matawae - Landak - Manggarai Barat -- Grobogan -- Wonogiri - Buton Tengah - Kota Baru -- Boyolali - Aceh Barat - Probolinggo -- Purworejo -- Malang - Semarang - Lampung Timur -- Tanggamus -- Jeneponto -- Sumba Barat.

Tidak dapat dipungkiri. Taman bacaan sebagai aktivitas sosial yang bersifat nonformal pun membutuhkan dana operasional. Baik untuk biaya listrik, honor alakadarnya petugas baca, dan membeli buku koleksi taman bacaan.

Tanpa dukungan dana atau anggaran, bisa dipastikan taman bacaan menjadi tidak menarik bagi anak-anak di lokasinya berada. Maka sekali lagi, kepedulian pemerintah dan donatur/korporasi terhadap aktivitas taman bacaan harus digerakkan.

"Survei ini membuktikan, taman bacaan sulit berkembang dan diminati anak-anak karena tidak adanya dukungan dana operasional. Sumbernya hanya dari kantong pendiri atau donatur. Maka pemerintah atau korporasi harus ikut peduli. Bila tidak akan banyak taman bacaan yang mati. Kasihan pegiat literasi di Indonesia" ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.

Di tengah gempuran era digital, harusnya pemerintah dan masyarakat mendukung gerakan untuk "membaca secara manual" di kalangan anak-anak usia sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun