Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Spirit Berantas Buta Aksara Geber Bura Lentera Pustaka

25 Agustus 2019   08:43 Diperbarui: 5 September 2019   08:22 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah sampai kapan buta aksara masih menyelimuti masyarakat kita?

Sementara di luar sana, jutaan orang berebut untuk mendapat "bangku"di perguruan tinggi. Untuk mengejar cita-cita setinggi mungkin. Agar mampu bersaing dan tidak terlindas laju peradaban zaman yang disesaki teknologi canggih. Tapi kaum buta huruf, tetap menjadi warga yang tidak terperhatikan. Warga yang tersisih dan kian terpinggirkan tanpa ada yang peduli.

Memang saat ini, tren angka buta huruf di Indonesia terus menurun. Tinggal 3,4 juta warga lagi atau sekitar 2,7% dari jumlah penduduk. Namun bila masih ada warga yang buta huruf. Itu berarti, pendidikan tidak sepenuhnya berhasil. 

Bahkan program wajib belajar yang digaungkan puluhan tahun pun belum tuntas, belum menyentuh semua warga apalagi di kampung-kampung yang tidak terjangkau.

Persoalan buta huruf, tentu bukan soal sepele. Mari kita tarik benang merahnya.

Orang tua atau masyarakat yang buta aksara, akibat tidak bisa baca tulis atau tidak berpendidikan, sangat cenderung tidak menyekolahkan anak-anaknya. Itu pertanda ada potensi putus sekolah di anak-anak mereka. 

Sehingga menciptakan generasi buta aksara baru. Apalagi bagi orang tua yang miskin atau kesulitan ekonomi sementara sekolah di negeri ini belum semuanya gratis. Maka, anak-anak itu bakal tidak mendapat layanan pendidikan yang layak.

Sebut saja contohnya di Desa Sukaluyu Kec. Tamansari kab Bogor, sebuah kampung di Kaki Gunung Salak Bogor. Dengan tingkat mata pencaharian 71% tidak bekerja atau tidak memiliki --penghasilan tetap maka muncullah 81% warganya hanya berpendidikan SD dan 9% SMP. 

Maka dapat disinyalir bahwa di lokasi ini terdapat kaum buta aksara. Di sinilah saya berkiprah untuk memberantas buta aksara melalui GErakan BERantas BUta aksaRA (Geber Bura) dan memberi akses bacaan anak-anak melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka.

Orang-orang pintar pasti tahu. Masih adanya warga buta aksara dan anak yang putus sekolah pasti memberi kontribusi terhadap rendahnya HDI (human development index, indeks pembangunan manusia) Indonesia. Bila buta aksara ada, maka HDI masih rendah. 

Bila angka putus sekolah masih tinggi, maka HDI pun hanya mimpi. Jangankan diajak membangun negeri atau mengambil keputusan, masyarakat yang buta aksara dan putus sekolah pun terus bergelut dengan kemisikinan dan kebodohan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun