Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Politik yang Tidak Santun

9 Juli 2019   11:42 Diperbarui: 9 Juli 2019   11:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila sadar, bahasa adalah alat yang efektif untuk mempengaruhi massa. Maka bahasa tidak boleh dipisahkan dari kesantunan dalam tuturannya. Karena bahasa bukan hanya alat politik. Tapi bahasa pun harus punya etika.

Bayangkan, selama pilpres dan pileg 2019 tercatat ada 62 konten hoaks atau berita bohong. Depkominfo pun menerima sekitar 733 aduan konten hoaks yang disebar melalui WhatsApp. 

Bahkan selama tahun 2018, tercatat 122 orang ditangkap karena menyebarkan kebencian di tengah masyarakat. Maraknya ujaran kebencian dan berita bohong harus dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

 Kesadaran berbahasa yang santun dan sesuai etika patut dikedepankan. Karena bahasa yang tidak santun pasti mengancam karakter bangsa Indonesia, di samping dapat memecah belah persatuan. Bahasa tidak lagi bisa didasari hanya pragmatisme politi. Tapi berbahasa pun tidak boleh abai terhadap kesantunan.

Di era revolusi industri, bahasa bukan lagi sekadar alat komunikasi. Tapi bahasa harus mampu mempertegas jati diri dan karakter bangsa. Indonesia yang santun dan berbudaya justru tercermin melalui bahasa yang digunakan. 

Semakin beni bahasanya maka semkain tidak santun. Karena itu, penting untuk mempersoalkan kesantunan berbahasa hari ini, di samping memilih sikap positif dalam berbahasa.

Dokpri
Dokpri
Politik Tidak Santun

Politik tidak santun pun tercemin pada bahasa yang tidak santun. Maka wajar bahasa politik terlalu dipenuhi kebencian, kebohongan, hujatan bahkan fitnah. Tutur kata bahasa politik yang dipertontonkan kian ambigu. 

Sikap kesantunan berbahasa Indonesia kian punah bahkan terlalu mudah diputar-balik menjadi alat untuk menistakan. Bahasa politik tidak asyik lagi. 

Cara politisi berbahasa kian penuh sentimen, hingga bikin gaduh dan mengundang perdebatan. Bahasa politik terlalu mengumbar kata-kata tanpa arti. Diksinya provokatif, bahkan kamuflastis dan terkadang menyesatkan.

Hari ini, bahasa politik tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa seakan telah kehilangan kosakata santun lalu berganti caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun