Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surat untuk Bu Kartini "Harapan Bukan Cercaan"

21 April 2019   08:45 Diperbarui: 21 April 2019   09:06 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat Buat Bu Kartini ...


Bu Kartini, mungkin bangsa ini sangat butuh Ibu lagi.

Karena akibat polarisasi politik, kontestasi pilpres, hingga beragam argumen kebencian, semuanya bermuara pada rasa "hilangnya harapan akan suatu keadaan di depan yang lebih baik". Sekarang ini Bu, banyak orang bicara tentang bangsa dan masa depan secara pesimis; ketimbang membangun ruang optimisme. Maka gak berlebihan, bila saya menulis surat ini buat Ibu dan menyebut kalimat "Indonesia hari ini sangat butuh Ibu, butuh perempuan".

Ibu Kartini benar sekali. 

Perjuangan Ibu tentang emansipasi sudah kelar di negeri ini. Kesetaraan gender pun sudah lama usai. Itu semua sudah menjadi nyata. Pemberdayaan perempuan sudah gak ada masalah, karena menterinya juga sudah ada. Tapi sayang Bu, hari ini masih banyak orang yang menjadikan emansipasi sebagai ambisi, bukan sikap. Sebenarnya dulu, Ibu mau apa sih dengan emansipasi?

 

Tapi Bu Kartini mungkin perlu tahu juga. Bersamaan dengan itu semua. Gak sedikit pula perempuan hari ini yang terjebak kepada gaya hidup yang berlebihan, pada konsumerisme tak berbatas, bahkan perilaku hedonisme yang kian menggila. Sementara kuota keterwakilan 30% politisi perempuan terus diperjuangkan. Tapi hidup dan penghidupan perempuan di negeri ini pun akhirnya digerayangi ketakutan. 

Ibu tahu gak? KDRT, kekerasan dalam pacaran, incest, marital rape, kekerasan seksual sangat menghantui kehidupan para perempuan. Koruptor perempuan pun makin banyak, apalagi politisi perempuan yang gak punya partai. Semua itu Bu, angka-angkanya meningkat terus.

Maka wajar Bu Kartini, narasi pesimisme jadi tumbuh harum mewangi di negeri ini. Apalagi bila dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Seakan-akan kita ini "telah kehilangan harapan akan suatu keadaan di depan yang lebih baik". Begitu kira-kira Bu ...

Sekarang ini Bu. Makin banyak perempuan yang melawan daripada membangun. Gak sedikit yang berniat tapi gak ada aksi. Seolah berjuang tapi menentang. Menurut saya Bu, itu semua terjadi karena kecintaan pada dunia yang berlebihan. Ditambah lagi, suksesnya retorika untuk menghidupkan kapitalisme, budaya patriarki, jiwa etnosentrisme, perilaku intoleransi dan sejenisnya.

Bu Kartini, memang boleh bangga. Karena di negeri ini. Menjadi perempuan sukses, pintar dan kaya nyatanya gak susah. Tapi yang susah itu menjadi perempuan solehah; yang sadar bahwa "ada di dunia" untuk "tetap ada di akhirat". Maka bila Ibu Kartini ada sekarang, mungkin semangat yang perlu dibangun adalah "membangun sikap, bukan membangun ambisi".

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun