Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Kaos, Kita Bebas Memilih

6 Januari 2019   12:16 Diperbarui: 6 Januari 2019   12:56 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri dari lentera pustaka

Kaos, memang cuma pakaian sederhana. Tapi semua orang suka pakai kaos. Sangat sedikit yang gak suka. Kaos itu simpel, bersahaja, dan punya warna atau corak yang bisa disesuaikan dengan orangnya. Siapa yang mau memakai kaos, boleh pilih sesuka hatinya? Siapapun, bebas memilih kaos yng disukainya.

Tapi di musim begini, musim pemilihan. Gak sedikit orang yang menjadikan kaos sebagai media propaganda. Dibuat sebagai alat kampanye, dikasih "tagar ini tagar itu". Bahkan gak sedikit, gambar orang yang dipuja dan disenanginya dicetak di atas kaos. Itu semua sah-sah saja, silakan.

Seperti politik, kaos juga bisa dibikin jadi polemik. Ada yang bilang gak sopan kalau pakai kaos. Tapi buat anak milenial malah nyentrik pakai kaos. Apalagi kaos yang dijadikan "alat politik" untuk mempengaruhi orang, untuk menghebatkan kandidat-nya. Ahhh lagi-lagi, itu sah-sah saja. Tapi yang pasti, kaos itu keren lagi ciamik dah.

Belakangan, ada juga kaos yang dijadikan identitas. Identitas anti si S, identitas pendukung si Y. identitas komunitas ini dan itu, bahkan identitas kaum para jomblo, dan sebagainya. Memang sangat boleh, kaos dijadikan sarana ekspresi atau media ungkapan. Eskpresikan apa saja di atas kaos, apalagi warnanya, coraknya, desainnya dibikin menarik.

Satu yang pasti. Kaos sangat "membebaskan kita untuk memilih". 

Mau kaos polos atau warna-warni. Mau kaos oranye, buru, hitam, putis atau warna apapun. Atau mau pilih kaos yang murah atau mahal. Orang gnateng boleh pakai kaos, orang kurang ganteng juga cocok pakai kaos. Semua boleh, karena kaos gak kenal kasta. Bahkan gak kenal agama, rasa atau suku sekalipun. 

Memakai kaos itu simpel, sederhana. Bolehlah, penggemar kaos disebut kaum minimalis. Gak ribet, gak harus ini itu Cuma urusan pakaian. Siapapun yang pakai kaos, bisa kok lebih terlihat bersahaja bahkan menarik. Memakai kaos gak bikin pusing, gak usah sibuk mikir cocok atau tidak. Kaos, tinggal pilih sesuka hati. Kita bebas memilih untuk kaos yang cocok buat kita.

Jadi seperti kaos, politik juga gak usah ribet. Sederhana saja. Nanti saat waktunya, tinggal coblos, tinggal pilih siapa yang kita suka. Gak perlu ada ujaran kebencian, caci-maki apalagi berita bohong atau hoaks. Sama sekali gak perlu mempengaruhi orang lain untuk memilih. Bebas-besar saja. Mungkin banyak orang, gak butuh argumen atau komentar. Kenapa harus si S, kenapa harus Y? Maaf, gak butuh. Seperti memilih kaos, bebas-besar saja. Bila kita tidak mau dipengaruhi orang lain, kenapa kita harus mempengaruhi orang lain? Bila kita tidak mau ditentukan orang lain dalam bertindak, kenapa kita harus menentukan tindakan orang lain?

Orang-orang pemakai kaos itu memang simpel, memang sederhana. Mereka tidak perlu merasa "kelihatan" hebat, tidak perlu rekayasa, apalagi berniat untuk propaganda. Pemakai kaos itu bebas memilih. Bahkan orang-orang pemakai kaos itu paham betul. Ketika ia harus tega menyingkirkan barang-barang yang tidak berguna. Barang-barang yang bikin baper, bikin sentimental yang penuh kenangan masa lalu atau dianggap dapat melancarkan mimpi-mimpinya.

Pemakai kaos itu jarang menderita. Karena hidupnya sederhana. Inginnya sederhan, nafsunya sederhana, bahkan harapannya sederhana. Asal tidak berdasar atas kebencian, atas niat menyingkirkan atau mengalahkan orang lain. Karena hari ini, berapa banyak orang yang tampil parlente, necis dan cerdas hanya tampak fisik. Tapi sayang, hati dan pikirannya "jelek" terhadap orang lain?

Belajar dari kaos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun