Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Perlu Dievakuasi?

15 April 2018   20:40 Diperbarui: 15 April 2018   20:54 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam keadaan bahaya?

Pertanyaan mendasar itulah digelarnya Gelar Wicara "Evakuasi Pendidikan Bahasa Indonesia Menuju Industri" pada hari ini, Minggu 15 April 2019 di Kampus Universitas Indraprasta PGRI. Menghadirkan nara sumber: Agus Noor (sastrawan), Afrizal Malna (sastrawan), Syarifudin Yunus (akademisi bahasa dan sastra) dan dipandu moderator Sangaji Niken. Acara ini dihadiri sekitar 270 peserta.

Adalah fenomena nyata zaman now. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai disiplin ilmu seringkali dianggap remeh. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang mempelajari ilmu bahasa dan sastra pun menjadi galau. Dasarnya, apakah ilmu yang dimilikinya jisa berguna bagi dunia kerja? Belum lagi persoalan praktis berbahasa. Khususnya di era euforia politik jelang pilkada serentak tahun 2018 dan pilpres tahun 2019. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan bahasa nasional justu kian dikebiri oleh para pemakainya sendiri.

Hampir gak bisa disangkal lagi. Pola berbahasa Indonesia yang ada saat ini di masyarakat justru cenderung eufimistik dan ambigu. Berbahasa zaman now, makin sulit dimengerti, tidak langsung kepada makna yang sebenarnya. Seperti ungkapan yang kontroversial belakangan ini "sebagian besar tanah negara dikuasai asing". Jujur, kalimat itu agak sulit dimengerti dan tidak didukung data.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk dibahas. Apakah pendidikan bahasa Indonesia sudah dalam keadaan bahaya sehingga diperlukan evakuasi? Bagaimana pula pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di era milenial ini dijalankan? Dan apakah dunia kerja dan industri membutuhkan bahasa dan sastra Indonesia?

Syarifudin Yunus, akademisi dan dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Unindra menegaskan bahwa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia tidak akan mengalami masalah bila orientasi belajarnya berbasis pada kompetensi dan pola belajar yang sesuai norma. Maka suka tidak suka, upaya menata kembali pendidika bahasa dan sastra Indonesia di era milenial penting dilakukan. Oleh siapa? Tentu berkat kerjasama penyelenggara pendidikan, para pengajar dan para pembelajara itu sendiri.

Lain halnya dengan Agus Noor. Ia menyampaikan bahwa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia harus bersifat terapan. Karema di luar sana banyak profesi yang berhubungan dengan ilmu bahasa tapi justru diisi oleh bukan orang bahasa. Inilah tantangan terbesar pendidikan bahasa dan sastra.

Sementara dalam konteks yang lebih makro, Afrizal Malna menyatakan pendidikan secara umum termasuk bahasa dan sastra Indonesia hari ini sepertinya terjebak pada "cara berpikir tunggal" yang senantiasa menyatakan bahwa saya benar dan dia salah. Justru cara berpikir inilah yang harus dibenahi. Tentu untuk memberdayakan pendidikan dan kemampuan bahasa dan sastra Indonesia secara lebih komprehensif.

2018-04-15-19-24-00-5ad358085e13736f56760452.jpg
2018-04-15-19-24-00-5ad358085e13736f56760452.jpg
Berangkat dari realitas yang ada, sepertinya pendidikan bahasa dan sastra Indonesia akan bisa berhadapan dengan istilah "evakuasi". Bahasa dan Sastra Indonesia, patut dievakuasi bila praktik pendidikan bahasa dan sastra hanya sebatas simbol pembelajaran tanpa mengedepankan kemampuan ilmiah dalam mempelajari bahasa, plus tidak bertumpu pada kompetensi berbahasa yang sarat dengan cara pikir dan perilaku ilmiah. 

Sebaliknya, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sama sekali tidak bituh dievakuasi bila proses pembelajaran yang ada mampu menghasilkan orang-orang yang memang piawai dan mampu menjadi solusi berbahasa yang berkembang di masyarakat. Karena berbahasa, sangat bergantung pada sikap orang yang belajar dan mempelajarinya. Bila sikapnya meremehkan maka remehlah bahasa. Bila sikapnya menjunjung tinggi maka mulialah bahasanya.

Ke depan, suka tidak suka, Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai disiplin ilmu adalah mutlak dan tidak terbantahkan. Namun dalam realisasi belajarnya, ada segudang agenda yang tetap harus dibenahi. Agar pendidikan bahasa dan sastra Indonesia bisa lebih berdaya guna, dan lebih penting lagi menjadi alat komunikasi yang sangkil dan mangkus... Bahasa dan Sastra Indonesia adalah tanggung jawab bersama kita, saya dan Anda. Maju terus bahasa dan sastra Indonesia !!!

Setelah gelar wicara, terus langkah nyatanya apa? ....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun