Prasangka itu milik orang banyak. Kapan mau dipakai, sungguh bebas-bebas saja. Hampir tidak ada yang menghalangi. Mau omong apa, mau pikir apa? Bukan hanya boleh. Tapi sangat dimaklumi. Begitu kesepakatan para penganut prasangka.
Jangankan manusia. Gunung yang tertutup kabut pun bisa sangka apa saja. Kalo gak kabutnya yang salah ya gunungnya yang salah. Zaman now, gak sedikit orang yang hidup dalam prasangka.
Sejatinya, kata orang bahasa. Prasangka itu berarti pendapat atau anggapan yang kurang baik sebelum tahu kebenarannya. Tanpa bukti. Semua kata orang, semua katanya doang.
Zaman now itu emang aneh.
Zaman makin maju. Ilmu makin tinggi. Status sosial makin hebat. Agama makin paham. Pendidikan makin mentereng. Â Orang pintar juga makin banyak.
Tapi di saat yang sama, mereka itu juga menghabiskan sebagain besar waktunya untuk berprasangka buruk. Entah, apa yang disangkakan? Atau apa pentingnya menyangka?
Makin aneh lagi. Prasangka.
Dia yang berprasangka buruk. Dia yang membenci, dia juga yang mencaci-maki. Tapi dia juga yang ajak orang lain tuk ikut seperti dia. Gunung itu, mau ditutup kabut sepekat apapun gak akan pernah berteriak atau mengajak siapapun.
Kita memang boleh tidak empati pada orang lain. Tapi itu bukan berarti "halal" tuk berprasangka atau menyangka orang lain. Banyak orang merasa hebat, merasa pintar bahkan merasa benar. Tapi sayang, hidupnya penuh prasangka. Terkikis prasangka.
Prasangka itu sederhana.
Semua yang diomong orang lain salah. Semua yang dikerjakan orang lain salah. Yang benar, hanya komentar dan pikiran "orang yang berprasangka" saja. Walau dia sendiri tidak pernah melakukan. Hanya sebatas komentar dan obrolan.
Zaman now itu.
Makin banyak orang yang gak mau ikut merasakan apa yang dialami orang lain. Dia hanya mau ngurusin perasaannya sendiri, ngurusin pikirannya sendiri. Karena prasangka.
Zaman now itu sering lupa. Manusia sebagus apapun akhlaknya dan sehebat apapun akalnya. Sama sekali gak berguna bila selalu direcoki oleh prasangka buruk.
Zaman now, prasangka merajalela.
Gak bisa lagi berpikir objektif. Gak bisa lagi bersahabat dengan realitas. Maunya berseberangan, maunya bertolak belakang. Seperti warga medsos, hari ini dan hari-hari ke depan. Makin "kehilangan kekuatan" untuk bersama-sama.
Kita ingin baik, kita ingin bagus. Tapi kita juga lupa. BAHWA TIDAK ADA PERADABAN BAIK YANG DIBANGUN OLEH PRASANGKA BURUK.
Peradaban baik bukan soal untung rugi. Bukan soal sepaham atau tidak sepaham. Peradaban baik hanya soal spirit, soal sikap yang "dituang" ke secangkir perilaku.
Susah memang. Berpikir objektif. Susah memang. Membuang prasangka buruk.
Tapi itu bukan berarti, kita gak boleh jadi orang baik. Karena orang baik, tidak harus sempurna di mata siapapun. Tapi dia gak pernah berhenti mencari cara untuk memperbaiki diri.
Baik itu seperti senja; gak pernah berduka walau menunggu waktu untuk tenggelam. Senja gak pernah berteriak bahkan meminta tolong walau hendak "menghilang".
Prasangka baik maka peradaban baik. Itu bisa terjadi, bukan dilihat dari kerasnya kita membaca kitab suci. Tapi dari konsistennya kita menjalankan apa yang kita baca. Tanpa ada prasangka buruk sedikitpun.
Siapa yang hebat di zaman now?
Bukan pahlawan, bukan presiden bukan pula gubernur. Tapi mereka yang selalu siap "berperang" melawan prasangka buruk sekecil apapun.... ciamikk