Mohon tunggu...
Syamsul Hidayah
Syamsul Hidayah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis , editor, dan penerbit buku. CP:0821 7700 1102 atau email :syamsulhidayah1975@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Ibu Terluka

2 Oktober 2016   21:22 Diperbarui: 2 Oktober 2016   21:37 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Itulah yang membuat aku memilih untuk tinggal di dusun," ujar bapak mantap.

Kini isu menikah kembali terdengar. Kali ini tidak sekedar isu. Tapi fakta. Bapak sudah tidak tahan dengan kesendiriannya. Meski ditentang enam anaknya, bapak pantang mundur. Ia terus membujuk anak-anaknya agar mendukung rencana pernikahannya. Akhirnya kami terpecah belah. Dua saudara laki-lakiku berubah haluan dan menyatakan mendukung. Satu saudara laki-lakiku abstain. Sementara, dua saudara perempuanku, Ivada dan Mutia bersikap mendua. Keduanya tetap tidak setuju meski terpaksa harus datang menghadiri. Adikku yang paling kecil, perempuan juga, seratus persen mendukung bapak. Aku?. Tetap tidak mendukung.

“Kalau mau sedih, akulah yang paling sedih. Aku ini ditinggal isteri. Tiga puluh tahun menikah dengan ibu kalian dalam suasana susah dan senang sudah aku lalui, bapak menikah ini bukan berarti mengkhianati cinta ibu kalian, bapak sudah tua, secara syahwat, tidak mungkin lagi, jadi tolonglah, anak-anakku sekalian untuk merestui kami,” kata Bapak, tujuh hari sebelum hari H, dihadapan tujuh anak-anaknya. Kami semua terdiam. Pertemuan hari itulah yang membuat saudara-saudaraku berubah haluan.

“Aku takut, jika tidak direstui, nanti aku khilaf, bisa-bisa kalian kualat,” tambah Bapak. Aku paham apa yang dimaksud kualat dalam perkataan bapak itu. Sebagai anak, patuh terhadap orangtua adalah kewajiban.

Tapi bagiku, ini bukan persoalan patuh terhadap orangtua saja. Ini persoalan cinta. Cinta anak, terutama kami, anak-anak perempuan. Meski ibu telah tiada, cinta kami tetap tertimbun di atap pusarannya di Tanah Suci Mekkah, meski kami tidak tahu dimana kuburnnya.

Kami tujuh beradik tahu benar. Cinta ibu terhadap bapak, banyak memakan perasaan. Saat masih hidup, ibu selalu disingkirkan oleh keluarga dari pihak bapak. Saat masih kecil, aku mendengar cerita ibu, bagaimana dia dipaksa untuk bercerai oleh mertuanya. Alasannya, mertuanya sudah ada perempuan untuk bapak. Padahal apa kurangnya ibu. Saat itu dia anak orang kaya di dusun itu. Wajahnya tergolong cantik. Boleh dikatakan, lima tahun pernikahan ibu dan bapak, asap dapur keluarga berasal dari kantong ibu, yang diperoleh dari tabungan hasil menjahit. Bahkan modal berdagang beras bapak, berasal dari ibu.

Untung saja perceraian tidak terjadi. Hal ini dikarenakan oleh ibu sedang mengandung aku. Di dalam agama, suami tidak boleh menceraikan isterinya di saat hamil. Maka itu, tidak salah, jika pihak keluarga bapak, sangat benci dengan diriku, karena janin itu adalah aku.

Dalam kehidupan sehari-hari, kami ingat betul ibu adalah perempuan yang sederhana. Meski menyimpan uang dari hasil keuntungan dagang bapak, ia tidak pernah membeli baju baru pun. Uang yang dikumpulkannya dan disimpan itu semata-mata untuk tujuh anak-anaknya. Kami tahu betul, jibu mengingingkan kami semua menjadi sarjana.

Setelah kami tujuh beradik berkeluarga dan memberinya cucu, kesederhanaan itu tidak pudar. Saat lebaran, kami tujuh beradik, biasanya membelikannya kain, baju atau sedikit perhiasan. Tapi saat lebaran, semua yang kami berikan tidak dia dipakai. Tapi disimpannya dengan rapi di dalam lemari. “Untuk apa memakai pakaian bagus, aku ini sudah tua,” Begitu kata ibu setiap kami membelikaannya baju.

Sikap ibu yang sederhana itulah yang menjadi alasan utama kami menolak rencana menikah bapak. Bagi kami tujuh beradik, ibu adalah segala-galannya. Ia tidak bisa digantikan dengan lain. Kami tidak mau menganggap perempuan yang akan disunting bapak sebagai orang pengganti ibu. Ibu tidak bisa digantikkan. Tidak bisa digantikan.

“Bapak tetap bapak kami. Tapi perempuan itu adalah orang lain. Bukan ibu tiri, isteri bapak, atau apalah namannya. Aku tidak tahu, dan aku tidak akan datang pada hari pernikahan,” kata ku saat bertemu Bapak, dua hari menjelang hari pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun