Mohon tunggu...
Syamsul Ardiansyah
Syamsul Ardiansyah Mohon Tunggu... Relawan - Manusia Biasa dan Relawan Aksi Kemanusiaan

blog ini akan bicara tentang masalah sehari-hari. follow me in twitter @syamsuladzic\r\n\r\nPengelola http://putarbumi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terima Kasih Pak Tjip

4 Februari 2010   10:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pak Tjip atau Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Pakar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, penggagas konsepsi hukum progresif, telah wafat. Kematiannya, tidak hanya menjadi kehilangan besar bagi bangsa. Namun lebih dari itu, kematiannya mengingatkan kita akan akan hilangnya keadilan dalam sistem hukum kita. Sebuah “rasa kehilangan” yang terus beliau gugat hingga akhir hayat.

Pak Tjip adalah salah-satu figur yang sederhana milik bangsa dengan warisan yang luar biasa. Beliau adalah intelektual yang paling konsisten mengusung gagasan tentang hukum progresif. Dengan gagasan tersebut, Pak Tjip berupaya mengembalikan esensi hukum sebagai instrumen keadilan rakyat dan bukan sebaliknya. Keadilan dan kebahagiaan rakyat haruslah berada di atas hukum.

Gagasan tersebut dibangun dengan asumsi yang sederhana, yakni hukum secara hakikat adalah untuk untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum tidak bisa diterima begitu saja sebagai produk yang final dan mutlak, yang mana penegakkan hukum sesungguhnya tidak bisa dianggap selesai, hingga keadilan benar-benar telah ditegakkan.

Dalam esai “Berhukum dalam Keadaan Luar Biasa” (Kompas, 19/11/2009), Pak Tjip menekankan bahwa hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan "apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk memberi keadilan kepada rakyat?"

Gagasan yang secara serius diperjuangkan Pak Tjip, pada kenyataannya, semakin menemukan basis sosialnya yang sangat konkret setidaknya melalui kasus Prita Mulyasari dan penahanan pimpinan KPK dalam kasus “Cicak versus Buaya”. Melalui dua kasus tersebut, rakyat memanggungkan sebuah pengadilan yang sebenar-benarnya atas sistem hukum Indonesia.

Sebuah pengadilan yang justru mensubversi logika “keadilan” yang disusun oleh sistem hukum formal. Selain logika tersebut ditentang secara blak-blakan oleh lebih dari sejuta facebooker yang menentang penahanan pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, logika keadilan yang dikonstruksi oleh sistem hukum formal itu pun “direcehkan” oleh “Gerakan koin untuk Prita”.

Melalui dua gerakan tersebut, jelas terlihat kelelahan rakyat dalam mencari keadilan pada “jalur resmi”, sehingga dengan terpaksa mengambil jalan pintas yang cukup revolusioner demi meraih satu-dua keadilan. Dogmatisme dan “narrowisme” dalam penegakkan supremasi hukum justru membangkitkan harapan yang keliru terhadap hukum dan lebih dari itu memenjarakan keadilan.

Menurut Pak Tjip, selama ini kita adalah murid-murid yang baik dan patuh terhadap cara berhukum yang umum digunakan bangsa-bangsa di dunia, termasuk asasnya, doktrin-doktrinnya. Tanpa disadari, kita telah membelenggu diri sendiri dengan menganggap bahwa kita tidak dapat keluar dari praksis yang sudah dipersepsikan sebagai berhukum secara universal.

Padahal, hukum itu amat rentan terhadap keadaan status quo. Dalam keadaan status quo, praktik-praktik buruk dan dekaden, ketika hukum justru melukai keadilan, berlansung dengan aman. Keadaan ini menyebabkan rapuhnya supremasi hukum. Hukum menjadi kering makna, tidak berwibawa, dan menjadi terror bagi kehidupan sosial.

Kekuatan hukum progresif harus bersatu mencari cara guna mematahkan kekuatan status quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia dan kemanusiaan menjadi aspek yang harusnya paling menentukan. Hanya dengan cara itulah, supremasi hukum, secara esensi, bisa ditegakkan.

Perkara ini sesungguhnya bukanlah hal yang sepele. Sebab yang dihadapi bukan hanya arus-utama penegakkan hukum yang positivis, berikut lapisan-lapisan “mafia peradilan” yang bergerak seperti siluman, dan kekuatan-kekuatan modal besar yang sudah menjadi rahasia umum, bergerilya dalam setiap perumusan undang-undang, mengkapling-kapling kebijakan hanya untuk kepentingan sesaat.

Terakhir, terima kasih dan selamat jalan Pak Tjip.

Syamsul Ardiansyah
Jakarta, 9 Januari 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun