Mohon tunggu...
Ollenk Syamsuddin Radjab
Ollenk Syamsuddin Radjab Mohon Tunggu... social worker -

Seorang ayah, pernah aktif di bantuan hukum dan HAM, pemerhati Politik-Hukum Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Hukum di Akhir Tahun

31 Desember 2017   00:03 Diperbarui: 31 Desember 2017   00:09 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: news.okezone.com

Penggantian tahun 2017 tinggal beberapa hari lagi. Sepanjang 2017 banyak peristiwa hukum yang menyita perhatian publik, mulai soal rumusan kebijakan  hukum (legal policy), pelaksanaan (legal practice), ketaatan (legal obedience) hingga penegakan hukum (law enforcement).

Secara sederhana, kebijakan hukum diartikan sebagai kehendak yang ingin dilaksanakan atau diterapkan oleh pemerintah dalam suatu negara. Oleh John Delaney (1987) menyebutnya sebagai Jembatan (as a bridge) dimana kebijakan dimaksud merupakan titik temu antara respon hukum, fakta sosial dan kepentingan politik yang saling berinteraksi dalam kehidupan bernegara.

Hasil produk kebijakan hukum berupa peraturan perundang-undangan akan diberlakukan kepada semua lapisan masyarakat termasuk pembentuk undang-undang untuk dilaksanakan tanpa pengecualian. Karena itu dalam pelaksanaannya sejak ditetapkan dan dituangkan dalam lembaran negara menjadi mengikat dan dianggap mengetahui adanya peraturan tersebut.

Dan dalam praktiknya, pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinilai efektif atau tidak. Undang-undang yang baik adalah yang bersumber dari kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga disebut sebagai hukum yang responsif.

Nonet-Selznick (1978) merumuskan ciri hukum responsif berorientasi pada tujuan, fungsional, tanggungjawab, partisipasi masyarakat dan kompetensi. Sebaliknya, hukum represif berorientasi kepentingan penguasa, dominasi perspektif, ketiadaan keadilan bagi masyarakat dan sub ordinasi institusi hukum atas kekuasaan politik. Demikian pula dengan hukum otonom yang lebih menekankan pada aspek prosedural karena hukum dipandang hitam putih.

Keberlakuan hukum bukan ditujukan kepada kelompok tertentu tetapi seluruh masyarakat dan warga negara secara umum (algemeenheid in ruimezin). Kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum terkait dengan kesadaran hukum atas pengetahuan, sikap dan perilaku setiap individu warga negara. Ketaatan terhadap norma hukum yang berlaku melahirkan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan.

Sebaliknya, pelanggaran terhadap norma hukum akan mendapat sanksi hukuman baik berupa denda atau hukuman fisik (pidana) oleh otoritas negara yang diberikan kewenangan oleh undang-undang. Yang ditaati bukan hanya norma hukum positif (tertulis) tetapi juga hukum constituendum dan hukum asasi yaitu hukum yang diharapkan berlaku dimasa mendatang dan hukum yang sudah berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan lintas negara.

Penegakan Hukum

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hukum hanya salah satu norma yang berlaku; dibuat, dilaksanakan dan ditegakkan oleh penegak hukum. selain norma hukum ada juga norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama yang berlaku dan hidup ditengah masyarakat dan diakui keberlakuannya oleh negara yang dikenal dengan istilah living law.

Norma hukum ditegakkan oleh aparat penegak hukum yang ditunjuk oleh negara dengan sanksi yang ditetapkan melalui undang-undang sedangkan norma lainnya ditegakkan dan diberi sanksi oleh masyarakat itu sendiri. Perbuatan baik dan buruk, kepantasan dan kepatutan serta perilaku yang bertentangan dengan ajaran, perintah dan larangan agama dinilai oleh masyarakat tanpa harus melibatkan penegak hukum.

Untuk mewujudkan tatanan masyarakat dan negara  yang aman, tertib dan terkendali diperlukan aparat untuk menegakkan hukum tanpa kecuali jika norma hukum dilanggar oleh seseorang. Konstitusi mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Ketidakadilan dan diskriminasi perlakuan aparat penegak hukum dalam penanganan perkara bukan saja pelanggaran norma hukum tetapi juga norma lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat serta konstitusi negara. Kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat proses penegakan hukumnya berjalan lancar, cepat, diberi sanksi bahkan dikriminalisasi, tetapi jika melibatkan aparat dan pejabat negara, hukum menjadi tumpul, lambat dan bahkan dibebaskan.

Hal inilah yang dikritik oleh Joel Solomon (1999) yang disebutnya sebagai ketidakadilan sistemik (systemic injustice) karena dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai struktur negara sejak penyelidikan dan penyidikan (polisi), penuntutan (jaksa) hingga vonis dipengadilan (hakim) bahkan kadang melibatkan pengacara.

Anehnya, dalam banyak kasus, para pihak sudah berdamai tetapi aparat penegak hukum memaksakan agar perkaranya harus dilanjutkan hingga ke pengadilan. Atau dengan sengaja mencari-cari kesalahan orang agar dapat dipenjarakan untuk memuaskan kepentingan pihak lainnya. Penegakan hukum seperti inilah yang dinamakan penegak hukum represif-konservatif. Hukum tak akan pernah tegar selama berada ditangan aparat berbayar.

Contoh Kasus

Rekayasa kasus dan kriminalisasi jelas merupakan kejahatan yang diatur dalam Pasal 220, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP yang seharusnya ditambah dengan pemberatan karena dilakukan oleh aparat penegak hukum. Beberapa contoh kasus dapat disebutkan diantaranya yaitu:

Pertama, kasus penetapan tersangka Munarman pada Februari 2017 yang dituduh melakukan ujaran kebencian terhadap para pecalang di Bali dan melanggar Pasal 28 UU ITE terkait fitnah yang dilaporkan oleh I Gusti Agung Ngurah Harta kepada Polda Bali (16/1/2017) yang keberatan dengan ucapan Munarman saat berkunjung ke harian Kompas (17/6/2016) menyoal pemberitaan yang tidak berimbang terkait isu hukum Islam.

Kedua, kasus yang menimpa Habib Rizieq Shihab (HRS) yang ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2017 dituduh melakukan percakapan via WathsApp berkonten pornografi yang bersumber dari website baladacintarizieq.com. Anehnya, pembuat dan pemilik website penyebar konten porno tersebut tidak pernah diperiksa malah HRS ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini erat kaitannya dengan kekalahan Ahok dalam pilkada Jakarta yang didukung oleh partai pemerintah dan penguasa negara.

Ketiga, pada bulan November 2017, tiga oknum polisi yang bertugas di Sat Reskoba Polres Metro Jakarta Timur diduga kuat merekayasa kasus narkoba dengan meminta imbalan Rp 40 juta ke korban agar kasusnya tidak di proses hukum. Kasus ini ditangani Bid Propam Polda Metro Jaya yang hingga kini tidak jelas keberlanjutannya.

Keempat, kasus Hary Tanoesoedibyo yang diduga melakukan pengancaman terhadap jaksa Yulianto melalui SMS. Tafsir "ancaman" itu kemudian dilaporkan ke Bareskrim Polri dan ditindaklanjuti dengan penyelidikan untuk menemukan ada tidaknya tindak pidana. Belum sampai ke tahap penyidikan untuk menentukan tersangkanya, Jaksa Agung, Prasetyo, sudah mendahului kepolisian dan menyatakan bahwa Hary Tanoe sudah ditetapkan sebagai tersangka (16/6/2017). Kasus ini pun hingga kini tidak jelas keberlanjutannya sehingga publik menilai bahwa kasus tersebut sarat rekayasa dan upaya kriminalisasi karena perbedaan latar belakang politik.

Kelima, kasus suap hakim MK, Patrialis Akbar agar memenangkan uji materi UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan oleh pengusaha Basuki Hariman dijatuhi hukuman delapan tahun penjara berkat OTT KPK (25/1/2017) menyusul rekannya, Akil Mochtar, yang lebih dahulu divonis hukuman mati dalam kasus jual beli putusan MK. Demikian pula yang dialami hakim tipikor Dewi Suryana pada PN Bengkulu (7/9/2017), dan hakim Sudi Wardono sekaligus ketua PT Manado menerima suap dan dagang perkara yang ditanganinya (18/10/2017), keduanya masih dalam proses hukum yang ditangani KPK.

Sepanjang 2017, puluhan oknum polisi, jaksa dan hakim terjerat kasus korupsi, rekayasa kasus dan kriminalisasi yang merugikan keuangan negara, ketidakadilan hukum, diskriminasi, kekerasan, dan pembunuhan tanpa hak yang dilakukan aparat penegak hukum telah menyebabkan ketidakstabilan politik, menimbulkan ketakutan dan hilangnya rasa aman masyarakat bahkan mendorong lahirnya ekstrimisme kelompok.

Semoga kasus-kasus tersebut menjadi renungan bersama dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang sebenarnya tanpa rekayasa, diskriminasi dan kriminalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun