Mohon tunggu...
Politik

Oportunis dan Tak Pro Rakyat, PDIP Jangan Pilih Ahok

29 Agustus 2016   11:49 Diperbarui: 29 Agustus 2016   11:59 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : tribunnews.com

Nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beberapa tahun terus ramai diperbincangkan masyarakat karena hampir semua media setiap memberitakan mantan Bupati Belitong Timur ini. Tegas, berani bicara, dan tanpa kompromi seolah menjadi antitesa bagi pemimpin daerah lain yang terkesan kalem tapi oportunis. Sejak menggantikan posisi Jokowi, yang dilantik menjadi Presiden RI, Ahok menjadi idola masyarakat.

Pada gelaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 mendatang, Ahok digadang-gadang akan melenggang mulus untuk meraih kursi DKI 1. Dalam berbagai survei, nama mantan Anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar ini selalu teratas mengungguli para pesaingnya seperti Sandiaga Uno, Yusril Ihza Mahendra, dan lainnya. Hal itu juga yang mungkin membuat partai Nasdem, Hanura, dan Golkar kepincut untuk mendukungnya. Sedangkan partai lain seperti PAN, PKB, PPP, PKS, dan Gerindra membentuk “Koalisi Kekeluargaan” untuk mencari alternatif calon lain.

Sementara itu, PDIP masih “galau” antara memilih Ahok atau memilih kadernya sendiri, yaitu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Namun, Risma akhirnya harus puas karena hanya dijadikan juru kampanye nasional dalam pilkada serentak. Padahal, mayoritas konstituen PDIP di Jakarta menginginkan nama Risma yang bertarung melawan Ahok di ibu kota. Meskipun demikian, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri lah yang akan menentukan siapa yang akan ia dukung.

Jika benar akhirnya PDIP mendukung Ahok, maka Megawati harus mengerti benar akan resiko yang akan dihadapi. Mendukung Ahok atau menjadikannya kader, sama saja menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Rekam jejak Ahok sebagai sosok “oportunis” politik bisa dilihat ketika 2011 lalu, ketika dirinya keluar dari Partai Golkar dan bergabung bersama Gerindra yang menawarkan posisi wakil gubernur bersama Jokowi dalam Pilgub DKI 2012. Tak lama menjabat, di tahun 2014, Ahok resmi mengundurkan diri dari Gerindra karen menolak mendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menjadi presiden. Ahok saat itu lebih suka mendukung Jokowi agar dirinya bisa menjadi gubernur DKI jika Jokowi menjadi presiden dan pada akhirnya obsesinya pun terwujud.

PDIP pun nampaknya harus siap menerima resiko akan ada perpecahan di internal partai jika memaksakan memilih Ahok. Anggota Fraksi PDIP Tb Hasanuddin tegas menolak jika partainya memilih Ahok dan dirinya yakin 90 persen kader PDIP tidak setuju partai berlambang banteng ini mendukung Ahok. Selain itu, kader PDIP lainnya seperti Rieke Dyah Pitaloka juga menginginkan kader internal yang maju dalam Pilkada.

Pertanyaan besar untuk PDIP saat ini adalah apakah Ahok memiliki ideologi yang sama dengan PDIP? Lalu apakah Ahok adalah sosok yang dibutuhkan PDIP? Perlu diketahui bahwa garis perjuangan PDIP adalah berjuang dan memperjuangkan rakyat kecil. PDIP bisa menang saat Pilgub DKI 2012 dan Pemilu 2014 bisa dibilang karena berhasil mengambil simpati rakyat kecil. Sementara di Jakarta, justru Ahok terlihat “kurang akrab” dengan rakyat kecil karena kerap menggusur dengan kekerasan. Lebih parahnya lagi, penggusuran tersebut hanya demi memperjuangkan proyek reklamasi pesanan kolega Ahok.

Jika sampai salah memilih calon dalam Pilgub DKI, bukan tidak mungkin akan berdampak buruk bagi PDIP saat Pemilu 2019. Titel ‘partainya wong cilik’ mungkin tidak akan melekat lagi pada PDIP karena tidak mendengar aspirasi dan memperhatikan nasib rakyat kecil.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun