Mohon tunggu...
syaiful HALIM
syaiful HALIM Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sekadar pendongeng di berbagai pojokan sekolah, penjelajah setiap sudut kota dengan kekumuhannya, perekam setiap detil kehidupan dengan keindahannya, penikmat alam semesta dan rumput-rumput di atasnya, serta pecinta film dan musik-musik yang asyik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Demokrasi Wayang Suket

26 Maret 2013   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Kalau Adinda menyangka sistem yang diperlihat Negara Adidaya itu buruk, apa kita harus berkiblat ke Yogya? Apa perlu kira seperti rakyat Yogya yang tidak percaya diri hingga harus menggelar sidang rakyat, hanya untuk memastikan bahwa Sultannya bisa menjadi gubernur seumur hidup? Apa itu bukan pembodohan?! Sultan yang kharismatik, punya segudang ilmu spiritual, dan memiliki segala kekuatan yang tidak dimiliki manusia biasa, kok bisa-bisanya takut kehilangan pengaruh? Apa itu bukan gambaran kemerosotan nilai-nilai monarki? Dan, kalangan itu takut dilindas roda demokrasi?” Arjuna makin sombong.

“Kakanda juga betul. Zaman memang membuat rakyat jadi terbiasa dijejali janji manis pilkada dan pemilu, biasa disogoki uang serangan fajar, dan diiming-imingi sebungkus sebangko dan tetek-bengek lainnya, sehingga mereka lupa soal memilih pemimpin yang arif. Demokrasi atau reformasi hanya membuat semua orang berkesempatan membangun citra dan menjualnya dengan suka cita. Sehingga, Sultan yang pendiam dan selalu menjaga wibawa, lama-lama jadi khawatir juga, dengan popularitas Tukul Arwana, Iwan Fals, atau Mbak Oneng…”

“Cukup!!” Suara Durna menggelagar memotong penjelasan Bambang Ekalaya. Penonton yang semula menahan nafas, akhirnya berteriak-teriak sambil melemparkan botol air mineral. Arjuna tak kalah sewotnya. Ia langsung mencabut keris dan memburu Bambang Ekalaya. Yang diburu, kabur! Cari selamat. Penonton justru berteriak-teriak kegirangan.

Bambang Ekalaya berlari. Kadang ia bersembungi di balik ketiak Ki Slamet Gundono. Kadang, ia menyelusup ke balik celana gombrang Ki Dalang. Kadang, ia terus masuk ke bagian terlarang sang Pengatur Cerita. Tapi, Arjuna terus saja memburu. Akhirnya, Durna terbengong-bengong. Penonton tenganga. Dan, Ki Slamet Gundono naik pitam. Kedua wayang suket itu diraihnya, lalu ditancapkan di atas batang pisang, dijajarkan dengan Durna. Arah ketiga wayang itu menghadap sang Dalang. Kali ini, ganti Ki Slamet Gundono emosi dan memarahi ketiganya.

“Kalian ini bagaimana, disuruh adu kecerdasan, kok malah berkelahi! Disuruh adu kepintaran, kok malah mencaci! Kamu juga, Durna, jabatanmu saja pandita, tapi ketidakjujuran dan ketidakadilanmu laksana preman! Menyesal aku menampilkan kalian di panggung ini! Menyesal tenan! Gusti, opo salahku?!

Yang namanya demokrasi atau monarki atau sistem apa pun namanya, tetap saja menghadirkan risiko dan akibat-akibat. Semuanya, karena 'pemain-pemain'nya lupa dengan kendali diri dan Yang Memainkan diri ini. Kalau saja sampean-sampean ini tahu siapa yang menggerakkan tubuh rapuh sampean, maka tidak ada cakar-cakaran, tidak hujat-hujatan, dan tidak peduli dengan sistem. Cape aku! Wis, bubar, bubar, bubar…!”

“Huuu..,” penonton berteriak-teriak. Arena adu kecerdasan berubah laksana stadion sepak bola.

“Kok, sampeyan jadi seperti Tuhan!” protes Bambang Ekalaya tiba-tiba.

Dasar murid tanpa guru memang jadinya sangat bandel. Melebihi kenakalan murid yang punya guru. Kendali cangkemnya itu lho, yang sudah bablas. Penonton kembali menemukan gairah.

“Di panggung ini, aku tuhan. Jadi, ndak ada yang bisa melawan kekuasaanku. Nah ini, asal sampeyan-sampeyan tahu, puncak dari kekuasaan itu tak lebih dari kekayaan, kekuasaan, dan kemashuran. Aku berkuasa atas kalian, meski aku ndak kaya dan termashur,” Ki Slamet Gundono terus nyerocos.

Buih keluar dari mulutnya tanpa terkendali. Ia jadi lupa, lakon adu kecerdasan Arjuna versus Bambang Ekalaya adalah untuk memaparkan makna “tahu diri”. Karena, setiap manusia memiliki kodratnya masing-masing. Jadi, masing-masing sudah mendapat jatah posisi dan jabatan tertentu. Karena, Gusti Allah sudah mengatur dan mengundang-undangkannya di Lauh Mahfudz.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun