Birokrasi di Era Digital, Lambat Berubah atau Enggan Bergerak?
Ketika dunia bergerak cepat dengan teknologi, birokrasi kita masih kerap tertinggal --- berjalan pelan, tersendat, dan kadang terasa tak ingin bergerak.Â
Ironis, sebab kita hidup di era digital, di mana akses informasi terbuka, layanan daring berkembang pesat, dan publik menuntut efisiensi.Â
Tapi dalam urusan administrasi negara, rakyat masih harus fotokopi KTP tiga rangkap, antre manual, atau mengisi formulir kertas di meja berdebu.
Pertanyaannya: apakah birokrasi kita benar-benar lambat beradaptasi dengan perubahan zaman? Atau sebenarnya, ada sebagian yang memang enggan bergerak --- karena perubahan bisa mengusik kenyamanan dan membongkar struktur kekuasaan kecil yang selama ini tersembunyi?
Digitalisasi: Antara Aplikasi dan Mentalitas
Mari kita akui dulu satu hal: Indonesia tidak kekurangan platform digital. Mulai dari aplikasi pelayanan publik, sistem informasi daerah, hingga berbagai portal daring kementerian --- semuanya tampak canggih. Tapi masalahnya bukan di jumlah aplikasi, melainkan mentalitas penggunanya.
Digitalisasi birokrasi sering berhenti di tataran teknis: buat aplikasi, buat situs web, ganti layanan manual jadi online. Namun dalam praktiknya, proses di balik layar masih memelihara pola lama: lambat, berlapis, dan tidak transparan.
Misalnya:
- Pengajuan izin bisa dilakukan lewat aplikasi, tapi tetap butuh "konfirmasi manual".
- Layanan online sering mogok atau tidak sinkron antarlembaga.
- Masih banyak petugas yang meminta dokumen fisik padahal semuanya sudah diunggah digital.
Inilah yang disebut digitalisasi tanpa transformasi.