Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

MFA sebagai Kompas

21 April 2025   07:32 Diperbarui: 21 April 2025   07:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Bayangkan dunia di mana sampah adalah mitos, dan setiap material yang kita gunakan berputar dalam siklus tak berujung layaknya air dalam siklus hidrologi. Fantasi? Tidak juga. Konsep ekonomi sirkular menawarkan visi ini, tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang bagaimana material bergerak dalam sistem ekonomi, kita hanya berjalan dalam gelap. Di sinilah Material Flow Analysis (MFA) muncul sebagai kompas---alat yang memetakan aliran sumber daya dari ekstraksi, produksi, konsumsi, hingga pembuangan atau daur ulang. Namun, bagaimana MFA benar-benar bekerja dalam praktik? Dan mengapa, meski potensinya besar, implementasinya masih sering tersandung oleh realitas kompleks seperti kebijakan yang setengah hati atau keterbatasan data?

MFA bukan sekadar penghitungan statis; ia adalah anatomi gerakan material dalam ekonomi. Secara teoritis, pendekatan ini berakar pada prinsip dasar termodinamika---material tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, hanya berubah bentuk. Dalam konteks ekonomi sirkular, MFA membantu mengidentifikasi bottleneck dalam aliran material, seperti titik di mana plastik malah berakhir di laut alih-alih pabrik daur ulang. Misalnya, studi kasus dari Belanda menunjukkan bagaimana MFA mengungkap bahwa 60% limbah konstruksi bisa dialihkan ke penggunaan baru setelah analisis rinci terhadap aliran beton dan baja. Tapi di balik kesuksesan ini, ada cerita yang jarang diungkap: tanpa insentif finansial, bahkan data paling akurat pun bisa menguap begitu saja di meja pengambil kebijakan.

Ambil contoh kasus Jepang dengan Top Runner Policy-nya. Di sana, MFA tidak hanya digunakan untuk melacak limbah elektronik, tetapi juga menjadi dasar menetapkan standar efisiensi bagi produsen. Hasilnya? Tingkat daur ulang ponsel mencapai 80%---angka yang memalukan bagi banyak negara maju. Namun, ada ironi tersembunyi: kesuksesan Jepang justru bergantung pada budaya disiplin warganya dalam memilah sampah. Artinya, MFA saja tidak cukup; ia perlu dikawinkan dengan pendekatan sosio-kultural. Di Indonesia, misalnya, upaya menerapkan MFA pada sektor tekstil sering mentok karena kurangnya data terpusat dari industri kecil dan rumah tangga. Ini memperlihatkan celah besar: teknologi analisis secanggih apa pun tak berarti tanpa infrastruktur data yang memadai.

Di tingkat mikro, MFA bisa menjadi pisau bedah untuk membedah inefisiensi. Sebuah pabrik di Jerman menggunakan MFA untuk menemukan bahwa 30% bahan baku logamnya terbuang sebagai spill dalam proses produksi. Solusinya? Mereka merancang sistem umpan balik yang mengembalikan spill tersebut ke awal rantai produksi. Tapi di sini muncul pertanyaan kritis: apakah solusi semacam ini bisa direplikasi di negara berkembang dengan modal terbatas? Jawabannya tidak hitam-putih. Di Vietnam, adaptasi MFA dengan teknologi rendah---sepaerti menggunakan pelacakan manual berbasis spreadsheet---ternyata mampu mengurangi limbah makanan di pasar tradisional hingga 15%. Kuncinya adalah flek-sibilitas: MFA harus bisa menyesuaikan diri dengan konteks lokal, bukan dipaksakan sebagai one-size-fits-all.

Perspektif kritis sering luput dalam diskusi MFA: ia bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, MFA membuka peluang optimasi sumber daya; di sisi lain, ia bisa disalahgunakan untuk greenwashing. Perusahaan multinasional mungkin memamerkan laporan MFA yang impresif tentang daur ulang, tapi mengabaikan fakta bahwa material tersebut justru diekspor ke negara miskin untuk "didaur ulang" dengan standar buruk. Ini adalah paradoks transparansi---data yang seharusnya membuka mata malah jadi alat pengaburan. Karena itu, MFA perlu dibarengi dengan audit sirkularitas yang independen, bukan sekadar angka-angka yang dipoles untuk laporan tahunan.

Melihat ke depan, masa depan MFA dalam ekonomi sirkular tergantung pada tiga hal: data granular, kolaborasi multidisiplin, dan political will. Tanpa ketiganya, analisis aliran material hanya akan jadi akademis belaka. Namun, jika diimplementasikan dengan bijak, MFA bisa menjadi jembatan antara visi ekonomi sirkular dan realitas industri yang masih berkutat pada pola linear. Seperti kata seorang praktisi, "MFA adalah GPS-nya ekonomi sirkular---tanpanya, kita mungkin tetap sampai di tujuan, tapi dengan lebih banyak bensin terbuang dan jalan berliku." Nah, pertanyaannya sekarang: siapkah kita membayar harga untuk memasang GPS itu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun