Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kepingan Ingatan tentang Ibu, Dermaga, dan Rahasia yang Dibawanya

8 Oktober 2020   13:54 Diperbarui: 9 Oktober 2020   05:38 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana di dermaga| Sumber: pixabay.com- Tim Hill

Pukul lima lebih sore ini, aku memandang ke arah laut lepas. Kutemukan kapal-kapal berlabuh dan seakan-akan aku sedang mencatat ulang kepingan ingatan itu; sore hari ketika ibu berkata ia akan pergi ke pasar sebentar, lalu aku dengan polosnya mengangguk. Kalau saja aku tahu itu berarti selamanya, aku tidak akan pernah berkata iya.

Setelah ibu pergi, berjam-jam aku menunggunya pulang. Sore luruh dan menjelma malam. Hingga Nyonya Clara datang dan aku menangis karena perlahan menyadari bahwa aku adalah anak gadis yang ditinggalkan oleh ibunya pergi ke pasar, namun tidak kunjung kembali.

Sebagai seorang anak kecil, pada awalnya aku tidak benar-benar memahami alasan mata ibu memerah sebelum ia menaiki kapal yang membawanya pergi di hari itu. Meski aku sudah tahu, bahwa sejak beberapa hari sebelumnya, ibu berubah menjadi lebih pemurung, sering melamun dan kadang ia malah tetiba menangis.

Aku pikir semua itu bermula setelah ibu menerima beberapa orang tamu di depan rumah. Aku juga sempat mendengar ibu membentak mereka dengan suara yang cukup keras untuk bisa mengagetkan kucing kami. 

Aku bahkan masih ingat ada seorang wanita yang mencoba memaksa masuk ke dalam rumah kami sebelum ibu menahan pintu dan menghalanginya masuk, sampai seorang lelaki berbadan besar dari mereka mendobrak pintu. Ibu terjatuh sesaat, memberi isyarat dengan tangannya agar aku masuk ke dalam kamar, sementara ia berbicara dengan beberapa orang itu di luar.

Berselang tidak begitu lama, ibu masuk ke kamar. Menyusulku. Memelukku. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk memandangi wajahnya kala itu, tapi yang kuingat, sepertinya itu adalah pelukan terakhir dari ibu yang aku tubuhi.

Beberapa tahun selepas kepergian ibu, tanda tanya itu masih belum terjawab seiring bertambahnya usiaku. Ke mana ia pergi, atau alasan apa yang membuat ia tidak pernah kembali. Aku pernah meminta bantuan Nyonya Clara untuk menyusul ibu ke pasar, atau ke kota, atau ke tempat di mana pun sekiranya ia berada. 

Namun ia menolak dengan alasan yang kurang bisa kuterima. Nyonya Clara berdalih bahwa ia trauma dengan dunia luar, terlebih untuk bepergian ke kota. Sejak aku dan ibu tiba di perkampungan dekat dermaga ini, aku memang tidak pernah mendapati Nyonya Clara pergi meninggalkan desa hingga akhir hayatnya tiba.  

Nyonya Clara sendiri mengembuskan napas terakhirnya ketika aku berusia lima belas tahun. Dengan pesan pendek yang ia bisikkan pelan di telinga kananku. Katanya, aku tidak boleh menyusul ibu ke mana pun sebelum usiaku mencapai tiga puluh lima. Dunia luar sangat tidak terduga dan berbahaya, tambahnya.

Sekarang, dua tahun berlalu sejak kematiannya. Walau bagaimanapun, aku sudah berjanji pada Nyonya Clara untuk menuruti pesan penutup darinya itu.

Kini aku benar-benar sendirian, diserang lebih sering oleh kebencian bertubi-tubi kepada ibu, namun di sisi lain aku juga memiliki keinginan untuk berjumpa dengannya, atau setidaknya mengetahui sedikit kabar tentangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun