"Karena tak dapat melihat bentuk-Mu, aku menemukan-Mu di sekitarku. Kehadiranmu memenuhi mataku dengan cinta-Mu, yang merendahkan hatiku, sebab Engkau ada di mana-mana." —Hakim Sanai
Del Toro membuat konteks dari-untuk syair tersebut yang semula dari seorang hamba untuk Tuhan, menjadi dari satu individu untuk indvidu lain, yang seolah-olah syair itu dapat menggambarkan keutuhan filmnya.
A Ghost Story
C (laki-laki) dan M (perempuan) adalah dua sejoli yang tinggal dan hidup bahagia di sebuah rumah yang sederhana. Suatu hari C mengalami kecelakaan mobil dan ia meninggal, namun rohnya menolak untuk meninggalkan dunia.Â
C terbangun di rumah sakit dengan wujud hantu berbentuk selimut. C kembali ke rumah sebagai hantu dan menyaksikan kepedihan kekasihnya sepeninggal dirinya.Â
Di rumah tersebut, kekasihnya, M, menghabiskan masa berkabung sebelum memutuskan untuk menjual rumah mereka untuk lepas dari bayang-bayang C. Setelah kekasihnya pergi, C masih menghuni rumah tersebut, berharap suatu waktu kekasihnya akan kembali.
Review
"A Ghost Story" memang menceritakan tentang hantu, namun tidak ada adegan jumpscare atau scene yang terlalu menakutkan di dalamnya. Penonton justru malah dibuat turut bersedih atas apa yang menimpa C dan M dan sejenak akan membuat kita berpikir, mana yang lebih buruk, ditinggalkan atau meninggalkan?
Di sepanjang film kita akan dibawa untuk mengikuti perjalanan eksistensial C yang sudah menjadi hantu, pergantian (maju-mundur) waktu, juga kilas balik yang membuat roh tersebut nampak amat nelangsa.Â
A Ghost Story adalah sajian yang berbeda dan amat orisinil dari film horror maupun percintaan kebanyakan. Lebih lanjut, film ini akan menghantui kita secara emosional. Setelah "Hatchiko", A Ghost Story adalah salah satu film tersedih yang sukses membuat mata saya berkaca-kaca saat menontonnya.